Lincak

Diposono Perebut Tahta HB IV yang Bikin Diponegoro Penasaran

Pangeran Diponegoro penasaran pada tindakan paman buyutnya, Diposono, yang merebut tahta Hamengkubuwono (HB) IV dengan bantuan roh Gunung Merapi dan Ratu Kidul.

Hamengkubuwono (HB) IV menjadi sultan pada usia 10 tahun. Ia dan orang-orang sekelilingnya memiliki minat yang tinggi untuk menyenangkan Belanda.

Paman buyutnya, Diposono, berambisi menggulingkannya. Diposono merupakan anak bungsu Hamengkubuwono I, mendalami ilmu sihir.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Ia diisukan menikahi anak perempuan roh penunggu Gunung Merapi, yang diisukan membantunya dalam melakukan pemberontakan. Diponegoro yang berusia beberapa tahun di bawah Diposono, penasaran dengan tindakan Diposono ini.

Oohya! Baca juga ya:

Diponegoro Sudi Berpuasa di Magelang Setelah Dipanggil Sultan oleh Perwira Belanda

Lelembut yang membantu Diposono tidak saja roh dari Gunung Merapi itu, terapi juga Ratu Kidul, penguasa laut selatan. Diponegoro sempat berpikir ulang tentang pemberontakan ketika Diposono ditangkap Belanda.

Diposono melakukan pemberontakan pada awal 1822. Ia ingin menyingkirkan HB IV lewat dua langkah.

Pertama, ia akan menyerang orang-orang Cina di wilayah Kedu. Tujuannya untuk menciptakan rasa tidak aman sehingga Belanda mengirim pasukan dari Yogyakarta ke Kedu.

Kedua, ketika Belanda mengirim pasukan ke Kedu, Diposono akan menyerang Benteng Vredeburg dari arah selatan, sehingga kemudian bisa merebut istana HB IV.

Oohta! Baca juga ya:

Nabi Musa Bertemu Tuhan Ternyata di Arab Saudi, Bukan di Mesir?

HB IV naik tahta berkat rekomendasi Diponegoro, kakaknya. Hamengkubuwono III menginginkan Diponegoro yang menggantikannya, tetapi Diponegoro menolak.

Pada 1805 Diponegoro menerima bisikan untuk tidak bekerja sama dengan Belanda. Dengan demikian, ia harus menolak menjadi raja yang diangkat oleh Belanda.

Ia memiliki harapan pada adiknya, karena adiknya itu cukup dekat dengannya. Ia sering mengajari berbagai hal.

Namun setelah menjadi sultan, HB IV berubah. Orang-orang di sekitarnya menjauhkan Diponegoro darinya.

HB IV lebih menyukai Residen Yogyakarta Nahuys yang memberinya pengaruh gaya hidup Barat. HB IV menjadi pemalas, surut semangat belajarnya.

Ia senang minum-minum hingga mabuk, senang memamerkan seragam kesatria Bejanda dan seragam jenderal Belandanya. Ia juga senang dengan perempuan.

Oohya! Baca juga ya:

Bagaimana Mengatur Pengeras Suara Masjid? Begini Menurut DMI

Diponegoro tentu menyesali tindakannya merekomendasikan adiknya itu menjadi sultan. Ia marah pada adiknya, tapi lebih marah lagi pada residen Belanda.

Hingga datang masanya, muncul Diposono yang menyusun rencana merebut tahta dari HB IV. "Rencana pertama berhasil, tetapi yang kedua gagal," kata Martin Bossenbroek.

Pada 27 Januari 1822, Diposono menyewa komplotan perampok untuk menyerang para pedagang Cina di Kedu. Residen Kedu pun meminta bantuan dan Residen Yogyakaata Nahuys langsung menjawabnya dengan mengirim pasukan terdiri dari 150 prajurit.

Apa yang dibayangkan oleh Diposono berjalan sesuai rencana. Maka di Yogyakarta, Diposono segera bertindak menggempur benteng.

Dipososo salah duga. Rupanya Belanda mendatangkan bantuan dari Semarang untuk menjaga Yogyakarta, ketika pasukan Yogyakarta dikirim ke Kedu.

Oohya! Baca juga ya:

Jika Hari Lebaran Menjadi Hari Cemooh Nasional, Setelah Puasa Berani Pulang Kampung?

Pasukan Diposono melarikan diri ke Bagelen setelah mendapat perlawanan dari pasukan bantuan dari Semarang. Pasukan Belanda berhasil mengejar mereka.

Hanya dalam waktu empat hari Nahuys berhasil mengamankan Kedu dan Yogyakarta. Diposono ditangkap, senjata anak buahnya dilucuti.

Kepada HB IV, residen memberi tahu bahwa Diposono telah melakukan perbuatan buruk dan serangan pengkhianatan. Hukumannya adalah hukuman mati.

Nahuys mengusulkan Magelang sebagai tempat eksekusi. Tapi HB IV tidak mau menghukum mati paman buyutnya itu.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda membuang Diposono ke Ambon. "Semua itu memberi alasan Diponegoro untuk berpikir kembali. Memang sudah ada dasar untuk berkembang biaknya pemberontakan," kata Martin Bossenbroek.

Tapi contoh yang dilakukan Diposono sungguh berbeda dengan contoh yang diberikan oleh Raden Ronggo, mertua Diponegoro. Raden Ronggo juga melakukan pemberontakan, dan Diponegoro mengaguminya.

Bukan untuk merebut tahta, tapi memang untuk mengusir Belanda.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Pembalasan Dendam Diponegoro, karya Martin Bossenbroek (2023)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Satu Pesantren di Grobogan Jadi Kristen, Cucu Sang Kiai Kelak Jadi Pendeta

Image

Siapa Pakualam, Pangeran Yogyakarta yang Mendapat Hadiah Tanah di Grobogan dari Raffles?

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam