Diponegoro Sudi Berpuasa di Magelang Setelah Dipanggil Sultan oleh Perwira Belanda
Ini kali pertama Pangeran Diponegoro tidak berpuasa di Menoreh selama Perang Jawa berlangsung. Tetapi bukan karena tiap hari disembelihkan lima ekor kerbau yang membuat Diponegoro rela tidak berpuasa di Menoreh kali ini.
Selama masa Perang Jawa, Diponegoro biasa menyepi ke Menoreh selama bulan puasa. Sebelum bulan Ramadhan 1830 tiba, Belanda terus membujuk Diponegoro agar bersedia ke Magelang.
Perwira Belanda, Kolonel Cleerens, membuat Diponegoro merasa dihormati setelah terpuruk akibat banyak orang-orang dekat Diponegoro ditangkap Belanda. Cleerens memanggilnya Sultan Ngabdulkamid, dan Diponegoro senang.
Oohya! Baca juga ya:
Hang Tuah Dikerjai Gajah Mada di Pasar, Mengapa Patih Majapahit Itu Malu?
Sebelum berangkat ke Magelang, Diponegoro mengajukan permintaan kepada Kolonel Cleerens. Untuk menyenangkan Diponegoro, Cleerens memenuhi permintaan berupa kain hitam untuk pakaian prajurit Diponegoro, uang, dan gunting untuk merapikan rambut para prajurit.
Di Magelang, Diponegoro yang dikawal oleh 200 prajurit kavaleri dan disertai oleh 800 pengikut dimanjakan oleh Jenderal De Kock. Setiap hari disediakan lima ekor kerbau yang disembelih untuk keperluan makan selama bulan puasa.
Uang juga diberikan kepada Diponegoro. Kunjungan ramah tamah juga dilakukan Belanda kepada Diponegoro saat makan sahur.
Saat shalat tarawih, Belanda juga datang untuk menyaksikan Siponegoro dan para pengikutnya melakukan shalat tarawih. Belanda membuatkan pesanggrahan untuk Diponegoro dan para pengikutnya.
Sebelum berangkat ke Magelang, Dipoengoro cukup tersentuh hatinya ketika banyak pengikutnya mendatanginya. Sebelumnya, ketika hanyaa ditemani punakawannya berpindah dari hutan ke hutan sebagai buron Belanda, ia merasa sudah dtinggalkan pengikutnya.
Oohya! Baca juga ya:
Bagaimana Mengatur Pengeras Suara Masjid? Begini Menurut DMI
Ternyata masih banyak rakyat yang mencintainya. “Hal itu menghangatkan hatina dan menghidupkan kembali penglihatan lamanya,” tulis Martin Bossenbroek.
Tetapi sehari sebelum berangkat ke Magelang, Diponegoro hampir membatalkannya hanya karena Cleerens hari itu tidak memanggilnya: Sultan. Cleerens memanggilnya: Pangeran.
Saat itu Diponegoro maah kepada Cleerens. Cleerens pun merasa perlu meredakan kemarahan Diponegoro dengan berjanji akan menjamin keselamatan Diponegoro selama di Magelang.
Pada 8 Maret 1830 Diponegoro memasuki Magelang. Puasa sudah memasuki hari ke-12.
Jenderal De Kock memanggilnya dengan sapaan Pangeran, bukan Sultan. Hal itu membuat Diponegoro bersikap kaku di hadapan De Kock.
“Tetapi dia tidak bisa bereaksi lebih jauh,” kata Martin Bossenbroek.
Karena Diponegoro tidak meninggalkannya, De Kock berkesimpulan langkah awal dari usahanya untuk memperdaya Diponegoro telah berhasil. Ia pun kemudian tidka mengajak negosiasi selama bulan Ramadhan.
Oohya! Baca juga ya:
Revisi Permen Soal Benih Lobster, Kiara: KKP Izinkan Ekspor Berkedok Budidaya
Hal itu membuat Diponegoro nyaman dan menyatakan akan berhubungan baik dengan pemerintah kolonial. Tapi De Kock menyatakan tegas, setelah puasa segala urusan akan segera diakhiri.
Untuk menyenangkan Diponegoro, De Kock memberinya uang, memberinya lima ekor kerbau tiap hari, dan melepaskan anak Diponegoro yang ditahan. Keluarga Diponegoro didatangkan di Magelang agar bisa bersama selama menjalankan ibadah Ramadhan.
Tapi di belakang Duponegoro, De Kock membuat rencana licik. Di depan Diponegoro selalu tampak baik. Bahkan Diponegoro juag diberi hadiah kuda abu-abu gelap yang besar dan kekar.
Di pesanggrahan, tempat tinggal sementara yang dibangun dari kayu dan bambu, kesibukan terjadi setiap hari. Masak untuk sahur dan berbuka disiapkan oleh para pengikut Diponegoro. Shalat tarawih juga tak ketinggalan dilakukan.
Dalam suasana yang memenangkan bagi Diponegoro itu, De Kock menyusun rencana licik. Ia akan mengundang Diponegoro setelah puasa selesai, tetapi dipersiapkan prajurit yang akan mengepungnya.
Oohya! Baca juga ya:
Nabi Musa Bertemu Tuhan Ternyata di Arab Saudi, Bukan di Mesir?
Prajurit bersenjata itu pada waktunya tiba ditugaskan di tempat pertemuan di kediaman residen, dan di pesanggrahan Diponegoro. Kereta kuda juga disiapkan.
Diponegoro yang datang di hari kedua Lebaran dengan pakaian santai untuk tujuan bersilaturahim menjasi marah karena Jenderal De Kock memaksanya hari itu juga untukmenyelesaikan permsalahan. Berjali-kali memberikan alasan tidak siap, tidka digubris oleh De Kock.
Sebelum berangkat ke kediaman residen, ada prajurit yang mengingatkan Dponegoro untuk membawa pengawalan lengkap karena khatawir terjadi sesuatu. Tetapi Diponegoro menolaknya karena ini kunjungan silatiahim yang bersifat santai.
Menghadapi desakan De Kocok, di hari kedua Lebaran itu Diponegoro menegaskan satu keinginannya. “Saya tidak punya dua niat. Anda tahu apa yangsaya inginkan,” kata Diponegoro.
Tentiu saja De Kock tahu, karenanya sedari pertemuan pertama pada 8 Maret 1830, De Kock tidak mau memanggil Diponegoro dengan sebutan Sultan. Dia tahu keinginan Diponegoro adalahmenjadi kepala Islam di Jawa. “Nama saya Sultan Ngabdulkamid,” kata Diponegoro.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- Kuasa Ramalan, karya Peter Carey (2012)
- Pembalasan Dendam Diponegoro, karya Martin Bossenbroek (2023)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]