Revisi Permen Soal Benih Lobster, Kiara: KKP Izinkan Ekspor Berkedok Budidaya
Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah Negara Indonesia akan direvisi. Dalam Rancangan Permen KP tersebut, ekspor benih benur lobster (BBL) akan dibuka kembali.
Dalam randangan permenitu disebutkan, ekspor benih lobster diperbolehkan dengan kedok budidaya. Dalam naskah rancangan disebut sebagai: “pembudidayaan BBL di luar wilayah negara Republik Indonesia”.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menyatakan, Rancangan Permen KP tentang Pengelolaan Lobster itu penuh dengan permasalahan. “Berpotensi mengulang kembali sejarah buruk pengelolaan lobster oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” ujar Susan dalam pernyataan persnya, Kamis sore (14/3/2024).
Oohya! Baca juga ya:
Hang Tuah Dikerjai Gajah Mada di Pasar, Mengapa Patih Majapahit Itu Malu?
Rancangan permen itu, kata Susan, disusun tanpa didukung oleh data yang valid. “Minim kajian ilmiah, monopolistik, hingga tidak adanya transparansi tentang para aktor yang bermain di dalamnya,” kata Susan.
Kesempatan investor melakukan ekspor BBL dengan dalih pembudidayaan BBL di luar negara RI, menurut Susan, hanya akan menguntungkan investor dan entitas usaha yang terafiliasi dengan KKP. Menurut Susan, Kiara menilai bahwa peraturan yang melarang ekspor benih bening lobster yang selama ini telah dijalankan oleh KKP patut diapresiasi.
Pelarangan itu telah berhasil menyelamatkan sumber daya lobster dari eksploitasi yang berlebih. Pada 2023 berhasil menyelamatkan kerugian negara sebesar Rp 183 miliar dari 1.347.986 ekor BBL.
Kiara mencatat berbagai permasalahan materiil yang terdapat dalam Rancangan Permen KP itu:
Pertama, isi dari Rancangan Permen KP yang memperbolehkan untuk diekspolitasinya dan diekspornya BBL dengan dalih pembudidayaan BBL di luar NRI bertentangan dengan konsideran serta tujuan dari Rancangan Permen KP itu sendiri. Yaitu untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan sumber daya perikanan dan peningkatan kesejahteraan nelayan.
Oohya! Baca juga ya:
Bagaimana Mengatur Pengeras Suara Masjid? Begini Menurut DMI
Bahkan terdapat logical fallacy dalam konsideran Rancangan Permen KP tersebut yang menyatakan bahwa menjaga keberlanjutan ketersediaan sumber daya perikanan. Di sisi yang lain ternyata berorientasi pada optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan peningkatan devisa negara.
Kedua, Rancangan Permen KP tersebut membuka peluang BBL untuk diekspor dengan kedok “di budidayakan di luar Indonesia”. Sedangkan pada Pasal 2 Permen KP Nomor 16 Tahun 2022 terdapat ketentuan bahwa “Penangkapan Benih Bening Lobster (Puerulus) dapat dilakukan untuk pembudidayaan di wilayah negara Republik Indonesia”.
Dalam Rancangan Permen KP terbaru ketentuan tersebut diubah menjadi “dapat dilakukan di: a. dalam wilayah negara Republik Indonesia; dan/atau b. Luar wilayah negara Republik Indonesia”.
Ketiga, penangkapan BBL masih didasarkan pada kuota penangkapan BBL, akan tetapi estimasi potensi sumber daya ikan dalam konteks BBL tidak pernah ada di Indonesia.
Sedangkan data otentik tentang estimasi potensi sumber daya ikan menyebutkan bahwa tingkat pemanfaatan lobster di Indonesia masuk kedalam kategori fully-exploited di 4 WPP NRI (712,716, 717, dan 718) dan over-exploited di 7 WPP NRI (571, 572, 573, 711, 713, 714, dan 715).
“Bahkan data KKP tentang estimasi potensi sumber daya ikan, jumlah tangkapan yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di WPP NRI menyebutkan bahwa lobster kini dalam kondisi yang telah di eksploitasi secara penuh dan berlebih (fully & over exploited),” kata Susan.
Oohya! Baca juga ya:
Martopuro, Raja Sehari Mataram yang Digantikan Sultan Agung
Selain itu, lanjut Susan, tidak ada kajian ilmiah dalam penyusunan Rancangan Permen KP ini. Bahkan tidak mempertimbangkan kondisi sumber daya ikan Indonesia yang existing. “Jika Rancangan Permen KP ini disahkan, maka akan semakin mengancam keberlanjutan stok dan sumber daya lobster di Indonesia,” tegas Susan.
Keempat, estimasi potensi sumber daya ikan dalam konteks BBL yang sampai saat ini belum ada, membuka celah kepada Menteri KP untuk mempertimbangkan masukan/rekomendasi dari kementerian/lembaga atau institusi lain. “Hal ini bertentangan dengan Permen KP yang telah ada sebelumnya, yang mewajibkan kuota ditetapkan berdasarkan masukan dan/atau rekomendasi Komnas Pengkajian Sumber Daya Ikan (Kajiskan),” kata Susan.
Hal ini, menurut Kiara, dapat menjadi zona abu-abu untuk tidak transparan terkait estimasi potensi BBL dan pemberian kuota dan izin demi eksploitasi BBL di Indonesia. Hal ini juga berpotensi adanya konflik kepentingan antar KKP dengan kementerian/lembaga lain atau institusi lain.
Kelima, dalam Pasal 2 Rancangan Permen KP tersebut menyebutkan bahwa penangkapan BBL hanya dapat dilakukan oleh nelayan kecil yang terdaftar dalam kelompok nelayan. Namun, tidak ada kategori skala ukuran yang mutlak dan jelas dalam definisi nelayan kecil dalam Rancangan Permen KP tersebut.
Hal ini, kata Susan, akan membuka peluang bertransformasinya nelayan-nelayan lain menjadi nelayan kecil untuk mengeksploitasi BBL di Indonesia. Ketidakjelasan definisi nelayan kecil tersebut juga dimulai dari diubahnya definisi nelayan kecil di UU Perikanan dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Oohya! Baca juga ya:
Begini Cara Belanda Menangkap Samin, Tokoh Penolak Pajak dari Blora
“KKP melanggengkan tidakjelasan definisi dari nelayan kecil itu sendiri,” kata Susan.
Keenam, Vietnam adalah negara yang sangat bergantung kepada Indonesia untuk pasokan BBL. Data dari Bayu Priambodo Ph.D (2023) menyebutkan, pada 2023 Vietnam membutuhkan 620,2 miliar benih lobster untuk memenuhi permintaan mereka.
“Hal ini memperlihatkan bahwa Vietnam adalah negara yang akan diuntungkan oleh Rancangan Permen KP ini dan lobster di Indonesia akan dieksploitasi secara berlebih untuk memenuhi kebutuhan tersebut,” kata Susan. Berkaca dari kebijakan diberikannya izin ekspor BBL ke luar negeri, data Bea dan Cukai yang menyebut perusahaan eskportir hanya membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 15 ribu per 60 ribur ekor benih lobster.
“Jika perusahaan eksportir menjual benih Rp 139 ribu per ekor, dan membayar PNBP Rp 15 ribu, maka alangkah besarnya angka keuntungan perusahaan ekspor dengan mendapatkan keuntungan Rp 8.340.000.000,” kata Susan. Pada titik inilah, lanjut Susan, kebijakan ini hanya menjadikan benih lobster sebagai objek eksploitasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
Maka, Kiara mendesak Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono untuk mengimplementasikan “ekologi sebagai panglima”. Bukan hanya sebagai jargon keberpihakan terhadap ekologi, akan tetapi mengimplementasikannya dalam peraturan di KKP.
“Dengan terjaganya keberlanjutan sumber daya perikanan akan memberikan manfaat yang sangat besar untuk perekonomian Indonesia, khususnya untuk masyarakat bahari sebagai aktor utama perikanan. Sebaliknya, membuka keran ekspor benih lobster tidak akan berdampak baik apapun bagi keberlanjutan sumber daya perikanan sekaligus perekonomian Indonesia,” kata Susan.
Ma Roejan