Martopuro, Raja Sehari Mataram yang Digantikan Sultan Agung
Sebelum meninggal, Prabu Anyokrowati memberi tahu Panembahan Puruboyo dan Patih Mandaraka telah menunjuk Raden Mas Rangsang untuk menggantikannya sebagai raja. Padahal putra mahkota adalah Raden Martopuro.
Martopuro masih berusia delapan tahun, merupakan adik Raden Mas Rangsang beda ibu. Tapi, setelah jenazah Prabu Anyokorowati dimakamkan, Patih Mandaraka dan Panembahan Puruboyo menobatkan Raden Martopuro menjadi raja.
Duduk di singgasana emas, rakyat Mataram mengelu-elukan Martopuro, sang raja baru. Tapi, Patih Mandaraka kemudian berbisik agar turun dari singgasana dan mempersilakan kakaknya, Raden Mas rangsang, untuk naik tahta, yang di kemudian hari dikenal sebagai Sultan Agung.
Oohya! Baca juga ya:
Begini Cara Belanda Menangkap Samin, Tokoh Penolak Pajak dari Blora
Prabu Anyokorowati diperkirakan meninggal pada 1 Oktober 1613. “Pada 1 Januari 1614 Coen menulis bahwa setelah kapal-kapal Belanda berangkat dari Jepara, 29 September1613, Raja Mataram yang memegang pemerintahan meninggal dunia,” ujar HD de Graaf mengutip catatan JP Coen.
Ia dimakamkan di dekat masjid di Kotagede, di sisi kaki makam ayahnya, Panembahan Senopati, sang pendiri Mataram. Karena yang diangkat sebagai putra mahjota oleh Prabu Anyokorowati semula adalah Raden Martopuro, maka Patih Mandaraka dan Panembahan Puruboyo menobatkan Martopuro sebagai raja.
Setelah Martopuro naik tahta, barulah kemudian digantikan oleh Raden Mas Rangsang. “Cucuku, turunlah,” bisik Patih Mandaraka kepada Martopuro yang sedang duduk di singgasana emas dan dielu-elukan rakyat Mataram.
“Kakangmu Pangeran Rangsang akan bertahta sebagai raja di Mataram. Itu pesan ayahanda,” lanjut Patih Mandaraka kepada Raden Martopuro.
Babad Tanah Jawi tidak menyebut gelar untuk Martopuro ketika menjadi raja. Setelah Martopuro turun dari singgasana, Panembahan Puruboyo lalu duduk di singgasana.
Oohya! Baca juga ya:
Nabi Musa Bertemu Tuhan Ternyata di Arab Saudi, Bukan di Mesir?
“Hai orang Mataram dan segenap kerabat, aku yang bertahta di negeri Mataram. Jika ada yang iri dan berani menghadapiku, majulah,” kata Panembahan Puruboyo lantang.
Tak ada yang berani. Raden Pinggoloyo kemudian mendatangi Raden Mas Rangsang, digendongnya, lalu di bawa ke singgasana.
Panembahan Puruboyo turun dari singgasana dan Raden Mas Rangsang yang berusia 20 tahun itu duduk di singgasana. Raden Mas Rangsang adalah anak pertama Prabu Anyokrowati, tetapi lahir saat Prabu Anyokrowati belum meniadi raja.
Sedangkan Raden Martopuro lahir setelah Prabu Anyokrowati sudah naik tahta. Keduanya sama-sama anak dari permaisuri. Ibu Raden Mas Rangsang bernama Ratu Adi, dari Pajang.
Sedangkan ibu Raden Martopuro bernama Ratu Lung Ayu dari Ponorogo. Babad Tanah Jawi mencatat, Raden Martopuro merupakan anak berkebutuhan khusus.
Sebelum meninggal, Prabu Anyokrowati juga berpesan kepada anak-anaknya. “Hai semua putraku, sepeninggalku hendaknya rukun. Jangan ada saling benci,” kata Prabu Anyokorowati.
Oohya! Baca juga ya:
Di Ende Bung Karno Minta Dikirimi Buku Pengadjaran Shalat dari A Hassan
Prabu Anyokrowati juga mengingatkan agar tidka berbuat jahat. “Kalau ada yang berniat jahat, ia tidak akan selamat. Perhatikan benar-benar pesanku,” kata Prabu Anyokrowati.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Babad Tanah Jawi Jilid II, penerjemah Amir Rokhyatmo dkk, penunting Sapardi Djoo Damono dan Sonya Sondakh (2004)
- Puncak Kekuasaan Mataram, karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]