Kiara Sebut COP Hanya Seremonial Iklim, Indonesia Kian Parah
Presiden Joko Widodo hadir di Conference of the Parties ke-21 (COP21) di Paris. Indonesia lalu meratifikasi Perjanjian Paris pada 2016 melalui UU No 16 Tahun 2016, tapi hingga 2021, Indonesia tetap sebagai negara 10 besar penghasil gas rumah kaca terbesar dunia.
Tahun-tahun berikutnya, peringkatnya malah kian parah, meningkat menjadi tujuh besar negara penghasil emisi gas rumah kaca pada 2022 dan 2023. “Pada tahun 2024, Indonesia berada di peringkat ke-6 sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar,” ungkap Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati, Ahad (16/11/2025), mengutip Climate Watch.
Pada November 2025 ini, Susan menghadiri COP30 di Belem, Brasil, yang ia sebut sebagai seremonial iklim belaka. Di acara itu, Indonesia juga menghadirkan Paviliun Indonesia untuk mempertemukan pembeli dan penjual karbon, dan Susan pun menyayangkan hal itu.
“Pemerintah berdalih bahwa diplomasi ikim tidak hanya tentang kebijakan, tetapi juga tentang ekonomi. Pemerintah berdalih bahwa Indonesia akan menjembatani penjual dan pembeli kredit karbon,” kata Susan.
Dengan alasan itu, menurut Susan, pemerintah selalu mendorong pembiayaan iklim dalam KTT COP di beberapa tahun belakangan. Pembiayaan iklim tersebut didorong melalui mekanisme perdagangan karbon dengan dalih bahwa akan disalurkan ke masyarakat lokal, dan memberikan manfaat kepada masyarakat di Indonesia.
“Akan tetapi, realitanya jelas berbeda. Saat ini Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia,” jelas Susan.
Emisi gas rumah kaca didominasi sektor 1) energi, 2) pertanian, 3) proses industri, 4) limbah, dan 5) penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan. Menurut Susan, wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil pun menjadi sasaran industri ekstraktif.
Itulah sebabnya, Susan menegaskan, jauhnya realita dari komitmen pemerintah. “Keseluruhannya berkonsekuensi terhadap dirampasnya ruang kelola masyarakat yang kami sebut sebagai ocean grabbing,” tegas Susan.
Susan juga menyoroti titik tetak negosiator berbagai negara yang hanya berkutat pada pendanaan iklim dan perdagangan karbon. Mereka tidak menyentuh inti permasalahan utama, yaitu menekan aktivitas industri ekstraktif-eksploitatif yang selama ini menjadi produsen emisi dan kontributor utama perubahan iklim.
Menurut Susan, tidak adanya pembahasan dan tindakan konkret yang menyentuh inti permasalahan utama membuat COP hanya seremonial iklim yang berulang. Korporasi-korporasi multinasional tidak juga mengurangi produksi emisi mereka.
“Eksploitasi sumber daya alam di negara-negara berkembang yang dilakukan oleh industri ekstraktif dan eksploitatif semakin masif, dan wilayah hutan, pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil teryus mengalami penghancuran,” kata Susan.
Hingga kini, lanjut Susan, orientasi pemerintah Indonesia pada realisasi pendanaan iklim dari negara-negara maju. Hal tersebut sejalan dengan proposal “Baku to Belem Roadmap to USD 1,3 Triliun” yang disusun Brasil sebagai tuan rumah COP30 bersama Azerbaijan sebagai tuan rumah COP29 yang diadakan di Baku.
Proposal tersebut memuat mekanisme untuk memobilisasi pembiayaan iklim senilai USD 1,3 triliun per tahun bagi negara berkembang pada 2035. Pendanaan iklim dimobilisasi untuk dua tujuan.
Pertama, untuk mitigasi perubahan iklim, di mana dilakukan tindakan untuk mencegah atau mengurangi emisi gas rumah kaca. Kedua, untuk adaptasi terhadap perubahan iklim, dengan tindakan yang diperlukan untuk mengelola dampak perubahan iklim yang tidak dapat dihindari.