Jika Hari Lebaran Menjadi Hari Cemooh Nasional, Setelah Puasa Berani Pulang Kampung?
Bulan puasa adalah bulan pengeluaran bertambah. Tidak hanya untuk membeli bahan pangan, melainkan juga untuk membeli baju dan petasan.
Di luar bulan puasa, belanja pakaian menempati urutan kelima di kalangan kuli di Batavia pada 1930-an. Tetapi, selama bulan puasa, kata HMJ Hart, direktur Biro Pusat Statistik Hindia Belanda, “Belanja pakaian menunjukkan peningkatan menjelang Lebaran.”
Pada saat libur Lebaran mereka akan pulang kampung, berbagi rezeki dengan kerabat. Pada masa Orde Baru, ketika pertumbuhan urbanisasi begitu tinggi, mereka yang gagal merantau akan malu pulang kampung, lalu mengusulkan Hari Libur Lebaran diganti menjadi Hari Cemooh Nasional. Apa maksudnya?
Oohya! Baca juga ya:
Samin Melawan Belanda dengan Cara Menolak Bayar Pajak
Para kuli di Batavia pada masa kolonial itu juga kaum urban. Mereka datang dari berbagai wilayah di luar Batavia. Ada yang dari SUnda, ada yang dari Jawa.
Dalam laporan “Survei Kondisi Kehidupan Kuli yang Dipekerjakan di Batavia pada 1937”, HMJ Hart menyebut ada lima kebutuhan bulanan yang meningkat selama bulan Ramadhan.
Empat kebutuhan bulanan para kuli sebelum belanja pakaian adalah pangan, air, sewa rumah, peralatan rumah tangga.
Untuk bahan pangan, selama bulan puasa para kuli itu berbelanja daging, ikan, dan telur lebih banyak dari bulan-bulan lainnya. Belanja beras juga meningkat, selain juga belanja jajanan, mercon/kembang api, tembakau, dan minyak.
Bagi mereka, beras merupakan makanan lezat yang mahal. Di bulan-bulan lain, beras tidak mereka beli. Di luar bulan Ramadhan, para kuli itu memilih membeli jagung, singkong, dan sedikit kentang. Kentang menjadi cadangan bagi mereka untuk menikmati makanan lezat.
Oohya! Baca juga ya:
Mengapa Bung Karno Memulangkan Sang Istri Utari ke Cokroaminoto?
Upah mereka 8,07 gulden hingga 31,83 per bulan. Selama bulan Ramadhan, upah mereka dinaikkan menjadi 10,27 gulden hingga 35,88 gulden.
Kendati upah mereka kecil, bukan berarti mereka tidak membayar zakat. Mereka akan menyisihkan uang untuk membayar zakat, memberi sedekah, dan memberi bantuan kepada kerabat.
Memberi bantuan kepada kerabat, hingga kini masih menjadi kebiasaan kaum urban. Pada masa Orde Baru, pulang kampung saat Lebaran tidak membawa oleh-oleh dari kota akan menjadi omongan.
Pada masa orde baru itu, masyarakat desa memiliki harapan masa depan ketika anak-anaknya bersekolah di sekolah negeri. Orde Baru membangun banyak sekolah inpres. Yaitu sekolah yang dibangun berdasarkan instruksi presiden.
Lulus sekolah, mereka akan mencari pekerjaan di kota. Jika sukses di kota, mereka akan membawa banyak uang ke kampung halaman.
Jika tidak punya uang, mereka memilih tidak mudik saat Lebaran. Malu menjadi alasan untuk mereka yang memilih tidak mudik karena belum berhasil di kota.
Oohya! Baca juga ya:
Cerpen "Mudik" karya Ahmad Munif menggambarkan kaum urban yang susah-susah pergi ke kota kahirnay hanya bisa tinggal di pinggir kali. Jika mereka bisa mudik, tentu akan menggembirakan mereka karena di kampung halaman lingkungannya tidak sumpek.
Di kampung halaman, mereka bisa menikmati udara segar karena rumah di kampung luas. Tanah kosong untuk bermain anak-anak juga masih banyak.
Tapi, bagi mereka yang malu mudik, akan menikmati Lebaran dengan suara kereta api yang melintasi jembatan dekat kampung mereka. Menurut cerpen itu, iketika kereta api yang mengangkut pemudik itu melintas, itu bagaikan sebuah ejekan bahwa mereka telah gagal menjadi perantau.
John Pemberton, antropolog Amerika Serikat, beretmu dengan pemuda desa yang mencari kerja di Solo, Jawa Tengah. Pemuda itu gagal di perantauan, kepada Pemberton mengatakan, sebaiknya Hari Libur Lebaran diganti namanya.
“Harus diganti namanya menjadi ‘Hari Cemooh Nasional (Hari Ngece Nasional)’. Dia merasa pasti akan dicemooh bila pulang ke rumah, tanpa memperoleh pekerjaan, pada hari-hari libur,” kata John Pemberton.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Jawa, karya John Pemberton (2003)
- Mudik, Kumpulan Cerpen (1996)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]