Kendeng

Samin Melawan Belanda dengan Cara Menolak Bayar Pajak

Presiden Jokowi bertemu dengan masyarakat Samin di Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, Maret 2015. Masyarakat Samin dulu melawan Belanda dengan cara menolak bayar pajak.

Setelah ribut-ribut akibat dinaikkannya pajak hiburan, kini ribut lagi soal pajak pertambahan nilai (PPN) yang juga akan dinaikkan menjadi 12 persen. Rupanya, pemerintahan Presiden Jokowi terus mengintensifkan penarikan pajak.

Di zaman penjajahan dulu ada tokoh di Blora yang menolak membayar pajak. Namanya Samin, gerakannya disebut Saminisme.

Menolak bayar pajak menjadi cara pasif bagi Samin melawan Belanda. Jumlah pengikutnya pada 1907 mencapai 3.000 orang.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Bung Karno Berbicara tentang Tata Tertib di Masjid, Kini Menjelang Ramadhan Ramai Soal Pengeras Suara dan Tidur di Masjid

Belanda kemudian menangkapnya dan membuangnya ke Padang, hingga akhirnya meninggal pada 1914. Namun, Saminisme terus berkembang.

Belanda menangkap sebelum bulan Suro 1937 tiba. Suro adalah bulan pertama dalam kalender Jawa Islam susunan Sultan Agung.

Tanggal 1 Suro 1837 bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1907. Kepada para pengikutnya, Samin menyebut pada bulan Suro akan muncul era baru, yaitu era dengan munculnya Ratu Adil yang menyingkirkan kekuasaan Belanda di Tanah Jawa.

“Kalau Ratu Adil datang, akan tiba suatu masa di mana semua orang akan sama rasa sama rata,” kata Denys Lombard.

Bagi Samin, semua hal yang ada di permukaan bumi adalah milik bersama. Tanah, air, kayu, milik semua orang, bukan milik perorangan.

Oohya! Baca juga ya:

Sultan Agung, Kalender Jawa-Islam, dan Gerebeg Puasa

Karena itulah ia menolak membayar pajak ketika ia memanfaatkan tanah, air, dan kayu yang ada di permukaan bumi itu. Pun Belanda bukan sebagai pemiliknya.

Samin merupakan sosok abangan yang lahir di Randublatung, Blora. Pada 1890 mulai mengajarkan ngelmu Nabi Adam.

Dia anak kedua dari lima bersaudara, laki-laki semua. Samin menempatkan dirinya seperti sosok Bima.

Bima adalah sosok keluarga Pandawa di kisah pewayangan. Dalam Pandawa, Bima merupakan tokoh yang paling kuat.

Meski Samin dibuang ke Padang, Saminisme tetap hidup. Pada 1914 gerakan Saminisme menjadi sorotan lagi setelah pemerinta kolonial menaikkan pajak.

“Mereka pada umumnya tidak mau melunasi pajak maupun menjalankan kerja rodi yang dituntut oleh pemerintah kolonial,” ujar Denys Lombard.

Oohya! Baca juga ya:

Roro Mendut, Beda Nasib Pembantu Sultan Agung dan Bung Karno dalam Mencari Istri

Penerus Saminisme adalah para sikep, yaitu para petani kaya yang memiliki banyak tanah. Samin memiliki tanah seluas tiga bau, yaitu ¾ hektare.

Para petugas pengumpul pajak menjadi para sikep ini sebagai sasaran. Itu sudha terjadi sejak zaman Mataram.

Para sikep bahkan ada yang juag menjadi pengumpul pajak, dengan imbalan seperlima dari pajak yang mereka kumpulkan menjadi hak mereka.

Sultan Hamengkubuwono II yang memihak kepada Belanda mengusik mereka. Saat itu mereka sedang menikmati masa-masa menjadi semakin kaya berkat menerima imbalan dari hasil pengumpulan pajak.

Pajak dinaikkan pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono II. Hal itu memberatkan mereka.

Oohya! Baca juga ya:

Presiden Ini Dicapreskan Lagi oleh Golkar tapi Pilih Mundur, Sikapnya Menuai Pujian

“Kelompok sikep amat terpukul begitu melihat pemerintahan kolonial menyusun administrasinya secara lebih rapi dan langsung mencekik mereka secara ekonomi, karena mereka justru sedang naik daun dan mulai menimbun kekayaan,” kata Denys Lombard.

Para sikep itu kemudian memilih bergabung dengan Pangeran Diponegoro melakukan Perang Jawa. Mereka kembali lagi ke pangkuan Belanda ketika Perang Jawa padam.

Ketika muncul Samin di akhir abad ke-19, para sikep mendapakan tempat untuk melawan Belanda lagi. Tidak dengan perang, melainkan dengan menolak bayar atas pajak yang dikenakan kepada mereka.

Hingga kini, komunitas masyarakat Samin masih ada di Jawa Tengah, dan dikenal sebagai sedulur sikep.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Nusa Jawa: Silang Budaya, karya Denys Lombard (2005)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]