Lincak

Prajurit Sultan Agung Mataram Diminta Ambil Wudu Sebelum Menyerbu Batavia, Eh, Kompeni Tembaki Mereka dengan Peluru Tinja

Gambar Benteng Batavia, tembok benteng retak menganga karena ditunjuk oleh Panembahan Puruboyo. Pasukan Mataram pun bisa masuk benteng tetapi ditembaki meriam berpeluru tinja.

Raja Mataram Sultan Agung memerintahkan Bupati Pekalongan Adipati Mandurorejo memimpin pasukan untuk menyerbu Batavia pada 1628. “Bawalah dua meriamku yang baik. Dan lewatlah laut, bawalah orang pesisir,” kata Sultan Agung.

Orang-orang pesisir yang menjadi prajurit Sultan Agung, ia bawa ke Batavia untuk menyerbu Kompeni. Adipati Mandurorejo pun meminta mereka berwudu terlebih dulu sebelum menyerbu Benteng Batavia.

Panglima Perang Mataram Panembahan Puruboyo juga dikirim ke Batavia membantu pasukan yang dibawa Adipati Mandurorejo. Kompeni menembakkan meriam berpeluru tinja kepada prajurit-prajurit Mataram.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Ini Sebab Cendrawasih Disebut Burung Surga, oleh Micahel Idol dari Papua Dijadikan Sebagai Karakter Cerita Anak

Adipati Mandurorejo juga mengerahkan anak-cucunya untuk ikut berperang. ”Tetapi perasaanku mengatakan meskipun menang perang, aku tidak pulang. Pasti aku tidak pulang,” kata Mandurorejo.

Istri dan dan para anak-cucu perempuan pun menangis. Mandurorejo berusaha meneguhkan hati mereka.

“Bukankah telah menjadi kehendak Tuhan, tetaplah di sini kalian semua. Sepeninggalku hendaknya kalian baik-baik saja,” kata Mandurorejo.

Mereka harus segera berangkat untuk menggantikan pasukan dari Surabaya, Gresik, Lamongan, Lasem, Sidayu, Tuban, Jepara, Demak, Juwana, Kudus, dan Semarang. Naik kapal, mereka berangkat ke Batavia.

Oohya! Baca juga ya:

Tsunami Aceh, Kontak Senjata TNI-GAM Membuat Anak-Anak Pengungsi di Kamp Pengungsi Posko Jenggala di Lhok Nga Ketakutan

Pasukan dari Mataram berangkat ke Batavia lewat jalan darat bertemu dengan pasukan dari daerah lain yang juga lewat jalan darat. Setiba di Brebes mereka melanjutkan jalan darat ke Sumedang untuk akhirnya mencapai Batavia.

Di Batavia, Kompeni sudah menunggu kedatangan mereka dengan meriam-meriam yang sudah disiagakan. Genderang perang ditabuh, orang-orang Jawa menyerbu Benteng Batavia, Kompeni menghujani mereka dengan tembakan meriam.

Pasukan berantakan, banyak yang meninggal. Adipati Mandurorejo mengalami cedera.

Malam hari, mereka mundur untuk mengatur siasat esok hari. Pasukan di laut juga diperintah untuk ikut menyerang.

Serbuan esok hari membuat prajurit Kompeni banyak yang meninggal oleh serangan meriam dari pasukan Mataram. Dua letnan dan tiga sersan Kompeni meninggal pada serbuan ini.

Panembahan Puruboyo yang menyusul menggunakan kapal Kaladuta juga sudah merapat di Batavia. Ia diadang kapal Kompeni.

Tanpa ragu, kapal Kaladuta ditabrakkan ke kapal Kompeni. Benturan keduanya menimbulkan suara menggelegar seperti suara petir, menenggelamkan kapal Kompeni.

Oohya! Baca juga ya:

Putri Solo Menari untuk Pernikahan Putri Juliana di Belanda dengan Iringan Gamelan yang Dimainkan di Jawa, Ini di Akhir 1936 dan Awal 1937 Lho

Dua kapal Kompeni yang lainnya melarikan diri. Kedatangan Panembahan Puruboyo membuat takut Kompeni. Mereka telah mendengar kesaktian Panembahan Puruboyo.

Ketika Penembahan Puruboyo sudah mendarat, Kompeni mengerahkan semua meriamnya untuk menembaki Panembahan Puruboyo. Tetapi meriam-meriam itu seperti menembak bayangan.

Panembahan Puruboyo dengan santai tetap bisa mendekati Benteng Batavia tanpa terkena tembakan. Kompeni pun kehabisan peluru.

“Hai orang Belanda, kalian keterlaluan bodoh. Mengandalkan benteng yang tebal dan halus. Kalau kami bersungguh-sungguh, bentengmu pasti hancur,” teriak Panembahan Puruboyo.

Serdadu Kompeni menjadi ciut hati. Panembahan pun lalu mengarahkan jari telunjuk ke Benteng Batavia.

Oohya! Baca juga ya:

Kisah Ten Dudas, 10 Duda Penyintas Tsunami Aceh Membangun 200 Rumah Darurat Dibantu Posko Jenggala

Benteng itu retak, menganga oleh telunjuk Panembahan Puruboyo. Pasukan Mataram pun masuk ke benteng melalui retakan itu.

Kompeni pun lalu mengisi meriam-meriamnya dengan peluru tinja, ditembakkan ke arah orang-orang Jawa. Panembahan Puruboyo merasa bantuannya sudah cukup, ia pun segera naik ke kapal untuk pulang ke Mataram.

Di Mataram, ia melapor kepada Sultan Agung betapa kalang kabutnya Kompeni, sehingga menggunakan peluru tinja ketika kehabisan peluru timah. Ia juga melaporkan kondisi Mandurorejo yang cedera dan banyak prajuritnya yang meninggal.

Sultan Agung pun mengirim utusan, memerintahkan Adipati Mandurorejo menarik pasukan yang tersisa, untuk pulang. Sultan Agung memerintahkan Mandurorejo tinggal di Kaliwungu, tidak di Pekalongan.

Saat hendak berangkat ke Kaliwungu, Kompeni masih menyerbunya. Ini membuat orang-orang pesisir ketakutan.

Tiba di Kaliwungu, Adipati Mandurorejo sudah tidak bernyawa. Ia dimakamkan di Kaliwungu.

Oohya! Baca juga ya:

80 Ribu Cendrawasih Pernah Dikirim ke Eropa, oleh Michael Idol Dijadikan Karakter Cerita Anak Bergambar untuk Pelestarian Hutan Papua

Ini rupanya yang membuat Mandurorejo memerinahkan prajuritnya berwudu sebelum menyerbu Kompeni. "Aku sendiri akan turun bertempur. kalian semua bersuci dirilah, sama-sama mati sabil," kata Mandurorejo kepada para prajuritnya.

Kepada Panembahan Puruboyo di Mataram, Sultan Agung menyampaikan ramalannya bahwa kelak anak-cucunya akan menjadi sekutu Kompeni.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Buku II, penerjemah Amir Rochyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]