Dipimpin Raja Muda Belia Sultan Hamengkubuwono IV, Keraton Yogyakarta Alami Kemerosotan Moral
Penjarahan yang dilakukan Raffles membuat Keraton Yogyakarta menjadi miskin. Namun, di kemudian hari, Sultan Hamengkubuwono IV yang masih muda belia dan para pangeran tidak bisa meninggalkan hidup gaya Barat, berfoya-foya. Kemerosotan moral pun terjadi.
Karena penjarahan Raffles pada 1812 itu, Keraton Yogyakarta kehilangan uang 1,875 juta gulden. Itu belum termasuk harta kekayaan lain seperti emas, intan, dan pusaka keraton.
Pesta dengan minum-minuma beralkohol menjadi kebiasaan di keraton. Pujangga Jasadipura II menulis Serat Wicara Keras untuk menggambarkan situasi di keraton. Jasapura menjadi pujangga keraton menggantikan ayahnya, Jasadipura I yang meninggal pada 1802.
Oohya! Baca juga ya:
Antisipasi Perubahan Iklim dengan Gaya Hidup Sehat, Bagaimana Caranya?
Panitia 100 Tahun Wafatnya Diponegoro mengutip sindiran Jasadipura:
Janganlah membanggakan diri sebagai pembesar ....
Mengaku keturunan Brawijaya dari Majapahit tapi tidak sakti,
Mengaku keturunan pendita, tidak tahan lapar.
Mengaku anak pujangga, buta huruf,
Mengaku anak seorang pandai, pikirannya kalut,
Mengaku anak alim ulama, tidak bisa membaca Alquran,
Mengaku anak Cina, tidak pakai kucir,
Mengaku anak santri, tidak dapat membaca Qulhu
Selanjutnya Jasadipura II mengemukakan:
Jika mengaku putra Raja, tentu pandai memikir secara tepat, jika anak kaum, tentu bisa mendoa. Jika tidak demikian maka orangs edemikian itu sudah ditukar oleh setan.
Ketika terjadinya anak tadi tentu ditukar olehh setan. Oleh karna itu anak tadi tentu selalu mencari jalan yang salah, selalu memperbesar hawa nafsu dan menjalankan kenakalan, sehingga dengan demikian ia selalu berlaku jahil terhadap bansganya sendiri, karena terpikat oleh si setan.
Oohya! Baca juga ya:
Belanda Tuduh Diponegoro Bunuh Hamengkubuwono IV, Ini Kata Diponegoro dan Cakranegara
Ia hanya suka dipuja-puja, disanjung-sanjung seakan-akan ia pandai. Melihat ronggeng menari-nari dikiranya bidadari.
Jika terkena pukulan seikit saja lantas bertukar mulut, tak suka berbicara secara manis dan damai, bahkan selalu ia sesumbar seakan-akan jantan sendiri. Tapi andai kata orang semacam itu sungguh berani berperang, tentu tak demikian tingkah lakunya.
Beraninya hanya dengan bangsa sendiri, dibelanya mati-matian seakan-akan ia mengaku perwira seperti Sultan Mangkubumi; beliau suka bertapa dan pandai serta selalu berdiplomasi, selalu berhat-hati dalam ucapannya, sederhana, tapi pikirannya sehat dan jika berperang sesama bangsa, tidak suka.
Babad Cakranegara juga menggambarkan bobroknya moral keraton. Ratu Ageng disebut sering mengundang pejabat Belanda datang di keraton:
(61) Beginilah niatnya,
Menuruti iktikad yang tak baik,
kangjeng Ratu segera mengirim utusan,
untuk memanggil Residen,
agar masuk istana.
Tak lama kemudian (dia) datang,
Kangjeng Ratu memberi tanda,
(pada pelayan) untuk meyediakan tempat yang sepi
(supaya) dapat berbicara tanpaada orang yang tahu.
(62) (Mereka) duduk berdekatan,
Segala tinggah lau mereka menimbulkan curiga, ...
Oohya! Baca juga ya:
COP28, Jokowi Dapat 100 Juta Dolar AS dari PM Norwegia, Ini Kata CEO Econusa
(63) Lama nian surat dari Betawi tak datang,
Residen seringkali dipanggil,
masuk ke istana,
dan Residen masuknya,
ke istana pada waktu malam.
Tak ada yang berani menghalangi,
Residen sesuka hati,
siang malam keluar masuk.
(66) Residen Bongos itu,
sangat cinta kepada kangjeng Ratu,
segala kehendaknya diturut,
Danurejo menyetujui (hal itu),
Wiranegara Mukidin
hanya menurut tak hendak membantah.
Oohya! Baca juga ya:
Siapa Residen Bongos? “Menurut sumber-sumber Belanda ialah Baron de Salis yang menjadi residen Yogyakarta pada waktu itu,” tulis KRT Hardjonagoro dan kawan-kawan.
Namun, PJF Louw berbeda dengan sumber-sumber lain:
Kecabulan yang terjadi di keraton, yang mendapat teladan dari Ratu Ageng, yang menjalankan segala macam kemaksiatan. Pergaulan Dietre dengan wanita-wanita keturunan raja sangat berbahaya.
“Maka rupa-rupanya kemungkinannya ialah Dietre, tetapi Dietre hanyalah sekretaris pada waktu Smissaert, pengganti De Salis, menjadi residen," tulis KRT Hardjonagoro dan kawan-kawan.
"Mungkin mereka semua berbuat begitu, yang mungkin dapat diambil sebagai gambaran juga tentang tindak-tanduk pembesar-pembesar Belanda pada waktu itu,” lanjut KRT Hardjonagoro dan kawan-kawan.
Raja dan pangeran-pangeran di lingkungan keraton mengandalkan penghasilan dari uang sewa tanah dan pajak-pajak. Sewa tanah ini sebenarnya merugikan keraton, karena yang untung adalah para penyewa tanah.
“Residen Nahuys menyewa tanah Kalitan denganuang sebesar 75 ribu gulden dan ketika ia harus pulang ke negeri Belanda ia minta ganti rugi 17.600 gulden,” tulis KRT Hardjonagoro dan kawan-kawan.
Oohya! Baca juga ya:
Nahuys juga menyewa tanah di Bedoyo sebesar 300 gulden per tahun selama enam tahun. Lalu menagih uang kembali senilai 39 ribu gulden.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- 100 Tahun Wafatnya Pahlawan Diponegoro karya Kementerian Penerangan RI (1955)
- Sultan ‘Abdulkamit Herucakara Kalifah Rasulullah di Jawa 1787-1855 karya KRT Hardjonagoro, Dr Soewito Santoso, dan kawan-kawan (1990)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]