Pitan

Antisipasi Perubahan Iklim dengan Gaya Hidup Sehat, Bagaimana Caranya?

Krisis iklim berdampak pada masalah kesehatan. masyarakat diimbau untuk berperilaku gaya hidup sehat.

Suhu di berbagai belahan dunia terus melonjak. Tahun 2023 diprediksi menjadi tahun terpanas dalam sejarah. Bagaimana menjalankan gaya hidup sehat di tengah krisis iklim ini?

Krisis iklim bisa menimbulkan banyak dampak, seperti naiknya permukaan laut, polusi udara, punahnya aneka spesies mahluk hidup, krisis pangan, dan yang tak kalah nyata: ancaman terhadap kesehatan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

“Menyikapi perubahan iklim, perlu diketahui bahwa 24 persen kematian di dunia disebabkan oleh penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dengan modifikasi lingkungan untuk menurunkan kejadian penyakit, salah satunya dengan peningkatan sanitasi,” ujar Direktur Penyehatan Lingkungan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan dr Anas Ma’ruf MKM, Jumat (30/11/2023).

Oohya! Baca juga ya:

Belanda Tuduh Diponegoro Bunuh Hamengkubuwono IV, Ini Kata Diponegoro dan Cakranegara

Anas menyatakan hal itu saat berbicara di acara Indonesia Hygiene Forum (IHF) yang diadakan oleh Univeler Indonesia. Menurut Anas, sanitasi dan kebersihan lingkungan memiliki peran penting dalam Enam Pilar Tranformasi Kesehatan yang digalakkan oleh Kemenkes.

Di pilar pertama yang berkaitan dengan transformasi layanan primer, termasuk melalui edukasi masyarakat. Selain itu, di dalam lima pilar STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat), Kemenkes RI juga memiliki kebijakan untuk mendorong perubahan perilaku.

“Kami percaya, program adaptasi perubahan iklim di bidang kesehatan dapat dilakukan dengan kolaborasi dengan kerja sama semua pihak mulai dari pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan masyarakat,” ujar Anas.

Kegiatan Indonesia Hygiene Forum, menurut Anas, menjadi salah satu kegiatan yang membantu pemerintah dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat untuk hidup bersih dan sehat. “Kami senantiasa mempersembahkan berbagai bentuk edukasi bertema kesehatan dan higienitas,” kata Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Unilever Indonesia, Tbk Nurdiana Darus.

Oohya! Baca juga ya:

Diponegoro Bebaskan Penggarap Lahannya dari Kewajiban Bayar Pajak Setelah Gagal Desak Hamengkubuwono IV Batalkan Penarikan Pajak

Menurut Sekretaris Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Dr Budi Hartono SSi MKM, kematian akibat kekurangan gizi, diare, malaria, hingga cuaca ekstrem sangat bersinggungan dengan isu perubahan iklim.

“Mobilitas manusia yang kian meningkat menjadi sarana efektif penularan dan penyebaran penyakit. Begitu juga dengan kerusakan lingkungan, yang memperburuk kualitas hidup dan kesehatan serta meningkatkan kerentanan terhadap penyakit,” kata Budi.

Salah satu kerentanan yang penting untuk diantisipasi dalam upaya mereduksi efek ”pajanan” (exposure) dari pencemar lingkungan adalah perilaku pemajanan (behavioral exposure). Contohnya di dalam air yang terkontaminasi, ada begitu banyak jenis bakteri, virus dan parasit yang mengancam kesehatan, sehingga masyarakat harus menghindari atau mengurangi pajanan dari air yang tercemar tersebut.

”Untuk itu, sangat diperlukan kewaspadaan dengan mengepankan Paradigma Kesehatan Lingkungan yang menitikberatkan pada keseimbangan tiga unsur, yaitu media lingkungan, host (makhluk hidup), dan agen penyakit serta memahami jalur transmisinya," kata Budi.

Maka, kata Budi, masyarakat perlu melakukan antisipasi dengan cara melakukan perubahan menuju Perilaku Hidup Bersih dan Higienis atau PHBS, guna mencegah meningkatnya dampak kesehatan dari perubahan iklim.

Inisiator Pandemic Talks Firdza Radiany menjabarkan, 58 persen penyakit menular pada manusia dipengaruhi oleh krisis iklim. “Hanya 44 persen masyarakat Indonesia memiliki pengetahuan tentang fenomena pemanasan global, dan baru 18 persen yang percaya bahwa perubahan iklim disebabkan oleh aktivitas manusia,” kata Firdza.

Oohya! Baca juga ya:

COP28, Jokowi Dapat 100 Juta Dolar AS dari PM Norwegia, Ini Kata CEO Econusa

Maka, menjadi penting usaha meningkatkan pemahaman terhadap isu ini dan memulai gaya hidup berkelanjutan. Yaitu gaya hidup yang memperhatikan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dan kelestarian alam.

“Hal sederhana yang bisa kita lakukan antara lain lebih bijak dalam mengonsumsi makanan, mengelola sampah, mulai menggunakan transportasi umum, hingga memilih produk-produk higienitas yang berkualitas sekaligus lebih ramah lingkungan secara bahan kandungan maupun kemasan,” kata Firdza.

Ma Roejan