Diponegoro Bebaskan Penggarap Lahannya dari Kewajiban Bayar Pajak Setelah Gagal Desak Hamengkubuwono IV Batalkan Penarikan Pajak
Pangeran Diponegoro sering menasihati Sultan Hamengkubuwono IV. Termasuk mengenai pajak yang membebani rakyat, tetapi Diponegoro tidak berkutik, karena adiknya itu lebih percaya kepada Patih Danurejo dan Komandan Pasukan Keraton Wiranegara yang menjadi kaki tangan Belanda.
Raden Mas Ambyah diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono IV atas rekomendasi Diponegoro. Pada saat ayah Diponegoro diangkat Belanda menjadi Sultan Hamengkubuwono III, Diponegoro juga hendak diangkat menjadi putra mahkota.
Diponegoro menolaknya, dan menunjuk Raden Mas Ambyah, adik Diponegoro beda ibu, untuk dijadikan putra mahkota. “Pulanglah engkau sekarang, Kepada orang Belanda saya akan mengatakan bahwa engkau menghendaki adikmu diangkat sebagai putra mahkota,” kata Hamengkubuwono III setelah tidak berhasil membujuk Diponegoro.
Maka, Diponegoro pun rajin membimbing adiknya, termasuk menunjukkan buku-buku yang perlu dibaca oleh seorang raja. Ia pun harus berkirim surat kepada Ratu Kencono jika adiknya tetap membandel.
Oohya! Baca juga ya: Sebagai Sayidin Panatagama Kalifah Rasulullah, Seberapa Bisakah Diponegoro Mengikuti Jejak Rasulullah?
“Ibu, saya menulis surat ini karena cara pendidikan Ibu terhadap adinda Sri Sultan meluncur ke lembah dosa nestapa. Janganlah ibu membiarkan dia berbuat dosa. Akibatnya tak baik baginya,” kata Diponegoro seperti ditulis oleh Cakranegara.
Cakranegara adalah paman Diponegoro yang memihak Belanda. Ia yang diangkat Belanda menjadi bupati Purworejo sejak 1831 juga menulis babad yang banyak menceritakan Diponegoro.
“Siapa pun yang berdosa terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, tentu akan mendapat hukuman dari pada-Nya, lagi pula ia akan menderita karena tindakannya yang salah tadi,” lanjut Diponegoro dalam suratnya itu.
Raden Mas Ambyah diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono IV saat berusia 10 tahun. Pangeran Notokusumo (Pakualam) yang sudah diberi wilayah kekuasaan di Pakualaman diangkat menjadi wali sultan hingga 1820 ketika Hamengkubuwono IV berusia 18 tahun.
Patih Danurejo dan Wiranegara (komandan pasukan keraton) lantas mendapat peran aktif setelah Pakualam tidak lagi menjadi wali sultan. Dua orang ini sangat berpihak kepada Belanda.
Oohya! Baca juga ya: COP28, Jokowi Dapat 100 Juta Dolar AS dari PM Norwegia, Ini Kata CEO Econusa
Ketika Hamengkubuwono IV mengangkat berpuluh-puluh pemungut pajak, banyak pangeran dan bupati yang menentangnya dan mengadu kepada Diponegoro, karena tidak ada pemberitahuan kepada mereka. Diponegoro pun lantas menanyakan hal itu kepada Hamengkubuwono IV.
“Ini semuanya adalah ide Patih Danurejo dan Wiranegara. Mereka tidak mempunyai cukup orang untuk disuruh memumbut pajak,” jawab Hamengkubuwono IV. Kata hamengkubuwono IV, Danurejo dan Wiranegar melaporkan sudah membicarakannya dengan para pangeran dan bupati.
Jumlah pemungut pajak yang diangkat ada 40 orang. Patih Danurejo dan Wiranegara yang menjadi pemimpin mereka.
Para pemungut pajak ini akan dibayar 60 gulden per orang, diambilkan dari pajak pacumpleng (pajak garap lahan) yang mereka pungut. Pemimpin mereka, Danurejo dan Wiranegara, masing-masing mendapat 150 gulden.
“Mereka berapat tiap hari di rumah Danurejo. Mereka tiap bulan harus pergi ke desa-desa untuk memungut pajak pacumpleng itu,” kata Hamengkubuwono kepada Diponegoro.
Diponegoro pun meminta Hamengkubuwono IV membatalkannya, sebab rakyat semakin terbebani oleh pajak. Ada 34 jenis pajak yang dibebankan kepada rakyat.
Mengadakan keramaian dengan mengundang ronggeng pun ada pajaknya. Ingin bebas dari kewajiban kerja paksa pun ada pajaknya.
Namun, Hamengkubuwono tidak bisa membatalkan pemungutan pajak itu. “Surat perintah kepada penduduk desa telah saya tanda tangani,” jawab Hamengkubuwono IV.
Oohya! Baca juga ya: Pelaku UMKM Bisa Dapatkan Bantuan Pinjaman tanpa Bunga dari FIFGroup, Ini yang Sudah Dapat Sejak 2016
Tak bisa memperjuangkan pembatalan pemungutan pajak, Diponegoro mencari cara lain. Ia membebaskan penduduk penggarap lahan yang dia miliki dari kewajiban membayar pajak.
Penarikan pajak sudah dilakukan sejak pemerintahan Gubernur Jenderal Marshall (Marsekal) HW Daendels yang juga dikenal sebagai Mas Kalak. Diponegoro pun marah kepada Patih Danurejo yang selalu menyetujui permintaan Belanda.
Danurejo pernah ianggap lancing telah berani menyewakan tanah keraton yang digarap penduduk kepada orang-orang Eropa. Diponegoro menilai tindakan ini akan menyusahkan rakyat.
Oohya! Baca juga ya: Urban Social Forum Ajak Warga Berkumpul Suarakan Aspirasi Kota yang Lebih Adil, Manusiawi, dan Lestari
“Ketika iaberkunjung ke Keraton ia menyuruh memanggil Danurejo dan memarahinya yang telah mengizinkan orang-orang Belanda menyewa tanah sawah rakyat itu dan menguntungkan orang asing.” Demikian yang ditulis oleh tim Kementerian Penerangan memperingati satu abad meninggalnya Diponegoro.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
100 Tahun Wafatnya Pahlawan Diponegoro 8 Januari 1855 – 8 Januari 1955 karya Kementrian Penerangan RI (1955)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]