Sebagai Sayidin Panatagama Kalifah Rasulullah, Seberapa Bisakah Diponegoro Mengikuti Jejak Rasulullah?
Pasukan berkuda (huzaren) tentara Belanda yang tinggal 40 orang itu dengan mudah bisa dihabisi oleh pasukan Diponegoro yang mengepung mereka. Namun, Diponegoro memilih untuk tidak menghabisi mereka.
“Paman, tanggung dan hina. Mereka itu Belanda bingung/tersesat dan hanya sedikit,” kata Diponegoro kepada pamannya, Mangkubumi, mengenai tentara Belanda yang sudah tidak berdaya itu.
“Jadilah huzaar Belanda itu dibiarkan hidup dan ditinggal pergi,” tulis KRT Hardjonagoro dan kawan-kawan.
Di kesempatan lain, saat penyerbuan benteng Kalitan, pasukan Diponegoro menjadi kalut setelah Kiai Mojo memilih mundur terlebih dulu. Diponegoro pun tampil menyemati pasukannya dan memimpin angsung penyerbuan Kalitan yang sebenarnya sudah hampir berhasil.
Oohya! Baca juga ya:
Pasukan kembali mengepung bentang Kalitan. Tetapi, Diponegoro memilih hanya menakut-nakuti tentara Belandai benteng itu.
“Yang kumohon hanyalah semoga si kafir dan murtad ingat kembali,” kata Diponegoro. Cerita-cerita di Babad Diponegoro ini, menurut KRT Hardjonagoro, menunjukkan betapa dalam Perang Jawa, Diponegoro juga memperlihatkan belas kasihnya kepada musuh yang sudah lemah.
Namun, di saat lain, ketika harus bertindak tegas, Diponegoro juga melakukannya demi menyelamatkan pasukannya. Contoh untuk kasus ini, Babad Diponegoro merujuk penyerbuan di Delanggu, Klaten.
Oohya! Baca juga ya:
Kapten Van Geen Louw memerintahkan prajuritnya menduduki jembatan Delanggu. Satu peleton dipimpin Letnan Petit, satu peleton lagi dipimpin oleh Letnan Rombeek. Belanda menempatkan penembak jitu di situ.
Penjagaan ini membuat pasukan Diponegoro mengalami kesulitan menembus pertahanan Belanda. Pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Basah Dullah dalam posisi yang serba sulit.
Diponegoro yang mendapat laporan mengenai situasi Delanggu, langsung datang untuk melihatnya. Melihat posisi pasukannya yang mengkhawatirkan, Diponegoro lalu berdoa.
“Seketika ada angin topan datang dari tenggara, dan api yang tak tahu dari mana datangnya. Lalu membakar semua rumah di Delanggu dan semua pagar-pagar sampai habis,” tulis KRT Hardjonagoro mengutip Babad Diponegoro.
“Sebelum Lehser mencapai jalan besar, api membumbung di Delanggu,” tulis Kapten Van Geen Louw seperti dikutip KRT Hardjonagoro, mengenai kondisi pasukannyayang kalang kabut dengan adanya badai itu.
Louw pun membuat catatan mengenai Diponegoro. Ia menyebut Diponegoro sebagai orang yang tidak berani dan tidak pandai.
“Akan tetapi kita merasa bahwa ia lebih banyak membiarkan dirinya terpimpin oleh keadaan daripada menantangnya dan mengaturnya... ia seorang ahli mistik yang juga cukup naïf untuk menerima segala tipu daya orang-orang yang lebih licin daripadanya,” ujar Louw yang dikutip KRT Hardjonagoro.
KRT Hardjonagoro dan akwan-kawan lalu membandingkan pertempuran Delanggu dengan Perang Ahzab yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Pasukan Nabi Muhammad dikepung oleh bangsa Yahudi dan Arab musyrikin.
Oohya! Baca juga ya:
Starbucks Masih Diboikot Gara-gara Israel, Pelanggan Bisa Mengadukan Barista ke Seatle
Situasinya sangat sulit. Jika bukan karena pertolongan Allah, pasukan Nabi Muhammad tidak adak selamat.
“Oleh sebab itu Nabi SAW tidak ada putus-putusnya memohon dengan khusyuknya kepada Allah SWT dengan ucapan: ‘Ya Allah, yang menurunkan Kitab, yang menggerakkan awan dan memusnahkan musuh-musuh, hancurkanlah mereka itu dan tolonglah kami untuk mengalahkan mereka itu,” tulis KRT Hardjonagoro.
Maka, pada malam harinya, datanglah angin topan yang hebat secara tiba-tiba. Kita dan petirmenyambar-nyambar. Pasukan Muslim melantunkan suara takbir. Kemah dan persenjataan Yahudi dan Arab musyrikin hancur.
“Kalau kita perbandingkan kedua pertemuran itu, maka agaknya para pengikut Pangeran Diponegoro mungkin merasa adanya pertolongan Tuhan berkat doa sang pangeran,”tulis KRT Hardjonagoro.
Oohya! Baca juga ya:
“Kalau kita tinjau cerita versi pihak Belanda,” lanjut KRT Hardjonagoro, “kita melihat di situ adanya kekacauan di barisan-barisan Belanda, misalnya komendannya menembak, pasukan di bawah Lehser lari, dan sebagainya, seperti halnya kerincuan-kerincuan yang timbul antara kaum Ahzab, yaitu bangsa Quraisy dan bangsa Yahudi bani Quraidlah.”
Sebelum Perang Jawa meletus, Diponegoro juga meniru perilaku Nabi sebelum mendapat wahyu, yaitu sering tirakat di gua-gua. Hingga akhirnya Nabi Muhammad mendapatkan wahyu, demikian juga yang dialami oleh Diponegoro, mendapat bisikan untuk menjadi pemimpin agama Islam di Jawa.
Nabi Muhammad menyatakan tidak bisa membaca ketika diperintah membaca oleh malaikat Jibril. Diponegoro menirunya dengan mengatakan tidak bisa membaca dan menulis ketika diminta membaca dan menandatangani surat pengangkatan dirinya sebagai wali sultan.
Saat itu Belanda mengangkat Raden Mas Menol yang berusia dua tahun menjadi Sultan Hamengkubuwono V. Diponegoro ditunjuk sebagai wali sultan bersama Mangkubumi.
Tapi, ketika Diponegoro dibuang ke Manado, Knoerle, ajudan Gubernur Jenderal, yang mengantarnya, mendapat pengakuan dari Diponegoro. Diponegoro mengaku bisa membaca dan menulis huruf Jawa meski tidak sempurna.
“Sifat-sifat yang tampak dalam kehidupan sehari-hari daripada Pangeran Diponegoro sangat dekat gambarannya dengan sifat-sifat Nabi yang sederhana dalam berpakaian, makanan, dan suka bergaul dengan orang kecil,” tulis KRT Hardjonagorodan kawan-kawan.
Oohya! Baca juga ya:
Sifat-sifat baik Diponegoro yang dikisahkan di Babad Diponegoro ini, menurut KRT Hardjonagoro, bisa menjadi bukti jika Diponegoro memang hendak meniru sifat-sifat Nabi.
“Dalam ilmu filologi, kalau kita menghadapi dua naskah yang sama, tetapi berlainan umur, biasanya kita baru yakin bahwa naskah yang muda adalah turunan daripada naskah yang tua, kalau kita mendapatkan kesalahan-kesalahan yang sama pada kedua naskah itu,” tulis KRT Hardjonagoro.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Sultan ‘Abdulkamit herucakra kalifah Rasulullah di Jawa 1787-1855 karya KRT Hardjonagoro, Dr Soewito Santoso, dan kawan-kawan (1990)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]