Lincak

Keris-Keris Diponegoro, Ada yang Dijadikan Jimat Selama Perang Jawa dan Ada Pula yang Disita oleh Ratu Ageng karena Isi Ramalannya

Keris Kiai Nogo SIluman, keris milik Diponegoro yang diambil oleh Belanda sebagai bentuk penyerahan diri Diponegoro. Dipulangkan oleh Belanda pada Maret 2020.

Keris Diponegoro, Kiai Nogo Siluman, yang dikembalikan Belanda ke Indonesia, saat ini sedang dipamerkan di Galeri Nasional sampai 10 Desember 2023. Nama pamerannya adalah “Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara”.

Tentu saja tak hanya keris Diponegoro yang dipamerkan, namun keris itu menjadi salah satu yang menyedot perhatian. Keris ini diambil oleh Belanda sebagai bentuk penyerahan diri Diponegoro, lalu dipersembahkan kepada Raja Belanda Willem I.

Keris tersebut mirip dengan nama gua yang ada mata airnya, tempat Diponegoro mandi saat mendapat bisikan terakhir, yang diduga dari Sunan Kalijogo. Pada saat itu Diponegoro berada di pantai selatan, Parangkusumo, dan menginap di Gua Siluman.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oleh suara gaib itu, Diponegoro diminta mengganti namanya dari Ngabdurahim menjadi Ngabdulkamid. Suara itu juga menyebut akan membekali Diponegoro dengan panah Sarutomo berupa cahaya yang melesat dari langit menuju dirinya.

Oohya! Baca juga ya:

Diponegoro dan Pengikutnya Berhasil Selamatkan Diri pada Waktu Maghrib Saat Rumahnya Dibakar Belanda, Sempat Shalat Maghribkah Mereka?

Ia juga diminta mengawasi penobatan ayahnya menjadi Sultan Hamengkubuwono III dan dimina menolak pengangkatan dirinya oleh Belanda sebagai putra mahkota. Suara itu memperingatkannya, menerima penganugerahan sebagai putra mahkota dari Belanda merupakan dosa.

Suara itu juga menyampaikan kabar bahwa tiga tahun lagi akan datang awal kehancuran Tanah Jawa. Tiga tahun kemudian, 1808, Daendels datang sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Daendels mengangkat ayah Diponegoro sebagai Sultan Hamengkubuwono III pada 1810. Daendels juga menunjuk Diponegoro sebagai putra mahkota. Mengikuti bisikan di Parangkusumo, Diponegoro menolaknya.

Diponegoro mengaku, selama 4,5 tahun ia menjalani hidup seperti yang digambarkan oleh suara bisikan yang ia terima di Parangkusumo pada 1805 itu. Pada saat ayahnya diangkat lagi sebagai Hamengkubuwono III oleh Raffles pada 1812, Diponegoro juga akan diangkat sebagai putra mahkota oleh Raffles.

Oohya! Baca juga ya:

Diminta Pakubuwono II Mengusir Orang Cina, Bupati Grobogan Disebut Ingin Mengusir Anjing tetapi Mengempit Anak Anjing

Lagi-lagi ia harus menolaknya. Ia lantas memberikan posisi putra mahkota kepada adiknya yang masih belia, putra ayahnya dari permaisuri.

Sepulang dari Parangkusumo pada 1805, di Tegalrejo Diponegoro membuat cundrik (belati kecil) untuk menghargai panah cahaya Sarutomo itu. Cundrik ini, yang diberi nama Kiai Sarutomo, selama Perang Jawa berlangsung selalu dibawa oleh istrinya, Raden Ayu Maduretno.

Setelah Maduretno meninggal pada 1827, cundrik itu oleh Diponegoro dilebur dengan lembing Kiai Barutubo (yang dibawa oleh Ngusman Ali Basah, panglima resimen pengawal pribadi Diponegoro) dan keris Kiai Abijoyo (pemberian dari ayahnya), dijadikan keris baru. Nama kerisnya: Kiai Ageng Bondoyudo.

Peter Carey mengartikan Kiai Ageng Bondoyudo sebagai Paduka Tempur tanpa Senjata. Saya lebih senang mengartikannya jimat untuk perang. Bondo artinya harta berharga (jimat), yudo perang.

Keris inilah, yang menurut Peter Carey, “Yang digunakan untuk mengobarkan semangat prajuritnya selama tahap perjuangan sulit melawan Belanda.” Keris ini tidak dijadikan senjata untuk perang, melainkan sebagai jimat.

Saat ia ditangkap Belanda, ditahan di Batavia selama sebulan kemudian dikirim ke Manado lewat Ambon lalu dipindah ke Makassar, Diponegoro tetap membawa keris Kiai Ageng Bondoyudo ini. Keris ini kemudian ikut dikubur bersama jenazah Diponegoro di makamnya di Kampung Melayu, Makassar.

“Demikianlah yang terjadi menurut tradisi lisan keluarga Diponegoro,” tulis Peter carey. Kiai Bondoyudo adalah nama penguasa segala lelembut (makhluk halus) di Cilacap.

Oohya! Baca juga ya:

Bupati Grobogan pun Bersikap ketika Pakubuwono II Berpihak kepada Kompeni dan Perintahkan untuk Mengusir Orang Cina

Keris Diponegoro yang lain, tidak bisa dilacak keberadaannya pada saat Peter Carey melakukan penelitian mengenai Diponegoro. Keris itu, kata Peter Carey, “Diduga dibawa kembali ke Belanda dan pernah dipersembahkan kepada Raja Willem I (bertahta 1813-1840)."

Keris itu diberi nama Kiai Nogo Siluman. Dugaan Peter Carey saat itu, disimpan di Kabinet Kerajaan untuk Barang Antik (Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden) di Den Haag.”

Knoerle memiliki kesaksian mengenai keris Kiai Nogo Siluman itu. Knoerle merupakan ajudan Gubernur Jenderal yang mengantar Diponegoro ke tempat pembuangan di Manado.

“Sore ini [27-5-1830) pukul enam Diponegoro menyerahkan kepada saya sebilah keris yang indah dan mahal sambil mengatakan: Lihat inilah pusaka ayah saya, yang sekarang menjadi sahabat Allah, keris ini telah menjadi pusaka selama bertahun-tahun,” tulis Knoerle mengutip perkataan Diponegoro.

Oohya! Baca juga ya:

Amangkurat II Pakai Pakaian Kompeni Malah Disangka Gubernur Jenderal, Raden Patah Pakai Pakaian Islam Malah Jatuh Sakit

“Ketika ayah saya, Sultan Raja [Hamengkubuwono III] bermaksud menyerahkan tanda ketaatan kepada Marsekal (Daendels) ia memberikan keris yang sama kepadanya. Marsekal mengembalikan keris ini karena ia tahu, keris itu adalah pusaka keramat dan bahwa ayah saya adalah sahabat sejati Belanda,” lanjut Diponegoro seperti yang ditulis Knoerle.

Laman kemendikbud.go.id menulis, “Selama dua abad, keris tersebut berada di Museum Volkenkunde di Leiden, Belanda. Namun, telah dikembalikan oleh Raja Belanda Willem Alexander pada masa kunjungannya ke Indonesia Maret 2020 lalu.”

Ada satu keris lagi milik Diponegoro yang dipercaya oleh Ratu Ageng memiliki tuah lebih tinggi dari lainnya. Namanya Kiai Wiso Bintulu. Keris ini juga keris pusaka keraton seperti halnya keris Kiai Nogo Siluman.

“Tetapi Ratu Ageng, ibu Hamengkubuwono IV, memintanya kira-kira Maret 1820 karena ada rumor tentang ramalan yang mengatakan, barang siapa memiliki keris Wiso Bintulu akan memerintah di Yogya,” tulis Peter Carey.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Kuasa Ramalan karya Peter Carey (2012)

Oohya! Baca juga ya:

Cegah Penggunaan Jebakan Listrik, Lomba Gropyokan Tikus Digelar di Grobogan dengan Hadiah Seekor Sapi Jantan

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com

Berita Terkait

Image

Pameran Lukisan Yos Suprapto dan Desember Hitam 1974, Protes Seniman Muda

Image

A Frame of Java, Eks Karyawan Republika Ikut Pameran Lukisan Kopi di Brasil

Image

Satu Pesantren di Grobogan Jadi Kristen, Cucu Sang Kiai Kelak Jadi Pendeta