Diminta Pakubuwono II Mengusir Orang Cina, Bupati Grobogan Disebut Ingin Mengusir Anjing tetapi Mengempit Anak Anjing
Bupati Grobogan Tumenggung Martopuro melaporkan kepada Raja Pakubuwono II mengenai jumlah korban dari orang Cina pada saat pengusiran orang-orang Cina dari Semarang. Namun, ia mempunyai firasat buruk ketika ia disuruh menghadap Raja lagi pada esok harinya.
Ia telah bersusah payah mengatur siasat untuk memimpin orang-orang Cina merebut loji Kompeni di Semarang. Tindakannya itu didukung oleh Patih Notokusumo dan direstui oleh Pakubuwono II.
Dengan siasatnya, ia bahkan mendapat bantuan persenjataan dari Kompeni untuk menyerang loji itu. Ia meminta bantuan persenjataan dengan kalimat untuk mengusir orang-orang Cina.
Oohya! Baca juga:
Bupati Grobogan Gunakan Senjata Bantuan Belanda untuk Serang Loji Belanda di Semarang
Tapi setelah kemenangan itu, Pakubuwono II berubah pikiran. Ia memihak kepada Kompeni dan meminta Bupati Grobogan mengusir orang Cina.
Maka, setelah memberikan laporan jumlah orang Cina yang menjadi korban, pada malam harinya Bupati Grobogan meminta kepada semua prajuritnya yang mengiringinya untuk berkemas. “Hai orang Grobogan, bersiagalah sebab tengah malam kita berangkat,” kata Martopuro.
Ia memutuskan untuk segera pergi meninggalkan Kartosuro karena merasa esok hari ia pasti akan dihukum oleh Raja karena melindungi orang-orang Cina. Tiba di Grobogan, Martopuro mengumpulkan semua prajurit yang ada di Grobogan dan sekitarnya.
Mengetahui Martopuro kabur dari keraton, Pakubuwono II mengirim surat kepada Patih Notokusumo yang masih ada di Semarang. Notokusumo pun mengumpulkan prajurit, termasuk anaknya, Adipati Jayaningrat yang menjadi bupati Pekalongan.
Notokusumo pun memberi instruksi kepada para pembantunya untuk pergi ke Pati, Lasem, dan Demak. Ia juga memerintahkan ada yang melapor ke komandan Kompeni di Semarang bahwa ia akan pulang ke Kartosuro.
Oohya! Baca juga ya:
Persiapan penyerbuan terhadap loji Kompeni di Semarang sebenarnya melewati perdebatan panjang: antara mendukung Kompeni membasmi orang Cina, atau mendukung orang Cina melawan Kompeni.
Perdebatan itu muncul setelah peristiwa pemberontakan orang Cina di Batavia pada 1740. Peristiwa itu membuat orang-orang Cina di pesisir utara Jawa resah karena ada isu Kompeni akan menghabisi orang Cina di Jawa.
Maka mereka pun merancang perlawanan. Bupati Grobogan dan Patih Notokusumo mendukung orang Cina. Tetapi Bupati Pekalongan Jayaningrat memilih mendukung Kompeni, jika Kompeni meminta bantuan kepada Mataram.
Maka, ketika Pakubuwono II yang semula mendukung orang Cina lalu berbalik memusuhi orang Cina, tidak bisa diterima oleh Martopuro. “Keturunan Mataram yang mengawali perang dengan berpedang pada Kitab, jarang yang mampu menandingi. Ketika bermaksud memusuhi orang kafir untuk memperluas agama Nabi, mengapa Sang Raja bersikap begitu?” tanya Martopuro masygul.
Namun, Jayaningrat menegah Martopuro. “Upayamu keliru. Maksudnya melarang anjing, tetapi masih mengempit anak anjing. Lebih baik Belanda yang kafir itu dibanding Cina yang nabinya berhala,” kata Jayaningrat.
Jayaningrat lalu mengingatkan Martopuro jika baik buruk seseorang itu ada di dalam hati. “Kalau hati suci, pasti tidak terkena hukuman Tuhan,” lanjut Jayaningrat.
Oohya! Baca juga ya:
Raja-Raja Jawa Dulu Dianggap Kompeni Berpenyakit Tuli Hindia Timur, Penyakit Apa Itu?
Setelah menyiapkan pasukan sepulangnya dari Kartosuro, Bupati Grobogan berangkat ke Demak untuk menemui Kapiten Singseh dan Sepanjang. Kemudian Martopuro menemui Ki Mangun Oneng yang diperintah Notokusumo pergi ke Pati.
Mereka merencanakan untuk mengangkat Raden Mas Garendi menjadi raja baru Mataram. Raden Mas Garendi diselamatkan oleh orang Cina ketika terjadi pertikaian di Kartosuro.
“Kalau terjadi yang menyimpang, sayalah yang menanggung. Seandainya memang Mas Garendi naik tahta menjadi raja dan berbuat cacat, sayalah yang menjamin,” kata Martopuro.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Buku V, penerjemah Amir Rochyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]