Pitan

Raja-Raja Jawa Dulu Dianggap Kompeni Berpenyakit Tuli Hindia Timur, Penyakit Apa Itu?

Gambar yang memperlihatkan Diponegoro sebagai wali Sultan Hamengkubuwono V sedang menempeleng Patih Danurejo IV dengan selop karena sikap ndablegnya.

Gubernur Jenderal Kompeni meminta Raja Mataram Susuhunan Amangkurat II menangkap Untung Suropati. Namun, Amangkurat II berpenyakit "tuli Hindia Timur".

Di dalam perlindungan Amangkuat II, Suropati malah membunuh Kapten Tack, utusan Kompeni yang hendak berunding dengan Amangkurat II. Amangkurat II memiliki utang kepada Kompeni setelah Kompeni berhasil menumpas Trunojoyo.

Namun, setelah Trunojoyo ditangkap Kompeni dan dibunuh sendiri oleh Amangkurat II, utang kepada Kompeni tak kunjung dilakukan oleh Amangkurat II. Pada 1677, Amangkurat II berjanji membayar sejumlah biaya dan beras jika Kompeni bersedia membantu menumpas Trunojoyo.

Oohya! Baca juga ya: Ini yang Terjadi pada Kapten Tack yang Dikirim Kompeni ke Kartosuro untuk Tagih Janji Amangkurat II Setelah Trunojoyo Ditumpas

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Penyakit ‘tuli Hindia Timur’ ini kemudian juga diidap oleh pejabat-pejabat Belanda di kemudian hari. Setidaknya, itu yang dialami oleh M Tabrani selama menjadi wartawan pada 1920-an hingga 1930-an.

Pemerintah kolonial selalu menilai isi koran yang dikelola oleh orang-orang Indonesia sebagai menabur kebencian. Namun, pernyataan itu tidak pernah diberikan kepada koran-koran Belanda.

Sebutlah Karel Wijbrands (1863-Mei 1929) yang mengelola koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsh-Indie. Tabrani menyebut, Wijbrands terus-menerus menabur kebencian, tetapi tidak pernah dipersoalkan oleh penguasa kolonial.

Menurut Tabrani, kondisi di Hindia berbeda dengan kondisi di Belanda, sehingga metode bertarung persnya pun memerlukan cara yang berbeda. Banyak fakta di Hindia yang, menurut Tabrani, tak bisa terungkap tanpa adanya tindak pelanggaran oleh pers.

“Di negara seperti Indonesia, tempat lahirnya penyakit ‘tuli Hindia Timur’ yang terkenal itu, seseorang harus berteriak sedikit lebih keras untuk bisa didengar dibandingkan dengan di Utara yang dingin,” tulis Tabrani.

“Tuli Hindia Timur” merupakan julukan yang diberikan kepada para raja di Indonesia di masa lalu yang bersikap pura-pura tidak mendengarkan kata-kata pejabat kolonial. Dengan sikap pura-pura tidak mendengar itu mereka terbebas dari tugas-tugas yang diberikan kepada mereka.

Dalam bahasa Jawa, pura-pura tidak mendengar yang disebut “tuli Hindia Timur” itu dikenal sebagai ndableg, tebal telinga. Menurut budayawan Jawa Iman Budhi Santosa, ndableg adalah pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak merasakan, pura-pura tidak peduli.

Oohya! Baca juga ya: Asal Mula Orang-Orang Cina Bisa Menjadi Pedagang di Indonesia dan Menguasai Perekonomian

Dalam istilah yang lebih halus, ndableg memiliki padanan lain, yaitu mbeguguk makutho waton. Maknanya sangat kasar: Tidak mau diperintah oleh orang lain.

Dalam pengertian ndableg, “tuli Hindia Timur” juga disematkan kepada orang-orang Hindia Timur yang bukan dari kalangan bangsawan. Misalnya, ia dari keluarga miskin lalu menjadi kaya. Namun, setelah kaya ia tidak mau tahu/tidak mau peduli kepada nasib kerabatnya yang miskin.

Dalam pengertian lain, “tuli Hindia Timur” juga disematkan kepada orang-orang Belanda yang tidak menggubris orang Hindia Timur. Penjelasan versi ini diragukan kesahihannya, karena orang Belanda tidak menggubris bukan karena pura-pura tidak mendengar, melainkan karena tidak memahami bahasanya.

Namun, melihat kesaksian Tabrani mengenai sikap pemerintah terhadap pers putih, sebutan “tuli Hindia Timur” untuk orang Belanda itu ada benarnya juga. Tabrani lalu menyebut nama Wijbrands ketika membicarakan perlakuan diskriminatif yang dialami pers pribumi di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Dirk Fock (Maret 1921 – September 1926).

Meski Wijbrands sudah berkali-kali melontarkan ujaran kebencian di korannya, pemerintah kolonial pura-pura tidak tahu. Ndableg juga.

Pasal ujaran kebencian hanya diberlakukan secara eksklusif kepada pers pribumi dan juga pers Cina-Melayu. “Seorang jurnalis Cina dibawa ke markas polisi dengan rantai seperti bandit dan pembunuh,” tulis Tabrani menceritakan cara penangkapan wartawan koran Cina-Melayu dalam kasus delik pers.

Oohya! Baca juga ya: Raja Pers Ini Dihukum Penjara 10 Bulan Bukan karena Kasus Delik Pers

Menurut Tabrani, umpatan yang dilontarkan oleh pers pribumi dan pers Cina-Melayu sering terjadi akibat provokasi pers putih. Tetapi, pers putih tidak diapa-apakan.

Perlakuan luar biasa ini, menurut Tabrani, mendorong penyelidikan lebih mendalam mengenai kasus-kasus yang menimpa wartawan Cina-Melayu dan Indonesia. Maka dibentuklah Persatuan Jurnalis Asia pada Agustus 1925.

Tujuan asoasi ini untuk memperjuangkan kemerdekaan pers. Asosiasi ini beranggotakan wartawan dari pers Cina-Melayu dan pers pribumi.

Tabrani (Hindia Baroe) terpilih sebagai ketuanya. Kwee Kek Beng (Sin Po) sebagai wakil ketua, WR Supratman (Kantor berita Alpena) sebagai sekretaris, Boen Joe On (Perniagaan) sebagai bendahara pertama, RS Palindih (Kantor berita Berita) sebagai bendahara kedua.

Oohya! Baca juga ya: Ini Lokasi di Puncak Gunung yang Menjadi Tempat Favorit untuk Berfoto Para Pendaki Amatir

Sedangkan Parada Harahap (Bintang Hindia), Ling Ying Chen (Sin Po, edisi Cina), Khoe Boen Sioe (Keng Po), Bee Giauw Tjoen (Sin Po), dan Achmad Wongsosewojo (Volkslectuur) sebagai komisaris.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- “De Onlusten in Indonesie en hare Bestrijding” karya M Tabrani dalam majalah De Opbouw (1927-1928)
- Deli Courant, 14 Oktober 1925
- Spiritualisme Jawa karya Iman Budhi Sansosa (2021)
- Twentsch Dagblad Tubantia, 18 Oktober 1954

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Banyak Warman Jadi Raja di Indonesia Dulu, Siapa Mereka?

Image

20 Ribu Keluarga Romawi Dikirim ke Jawa Tersisa 20 Keluarga, Kenapa?

Image

Kenapa Ada Banyak Raja Bernama Warman di Indonesia Zaman Dulu?