Kendeng

Bupati Grobogan pun Bersikap ketika Pakubuwono II Berpihak kepada Kompeni dan Perintahkan untuk Mengusir Orang Cina

Bupati Grobogan Tumenggung Martopuro memimpin orang-orang Cina menyerbu Loji Kompeni di Semarang dengan siasat. Setelah itu ia diperintah mengusir orang Cina. Ia pun bersiasat kembali.

Pada mulanya Pakubuwono II memerintahkan Bupati Grobogan membantu orang-orang Cina menyerang Kompeni. Namun, setelah berpihak kepada Kompeni, Pakubuwono II memerintahkan untuk mengusir orang Cina.

“Seandainya perkenan Raja untuk berdamai dengan Kompeni terjadi, saya tidak dapat menerimanya. Lebih baik saya mati di hutan,” tegas Bupati Grobogan Tumenggung Martopuro setelah mendapat perintah dari Pakubuwono II melalui Patih Notokusumo.

“Kalaupun hidup, tidak mungkin saya dibiarkan, pasti akan dihabisi atau dibuang,” lanjut Martopuro.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Martopuro lalu mengungkit dukungan Notokusumo untuk membantu orang-orang Cina melawan Kompeni. Ia menyebut orang-orang Cina sudah berjanji untuk sehidup semati dengan prajurit Jawa.

Oohya! Baca juga ya:

Bupati Grobogan Gunakan Senjata Bantuan Belanda untuk Serang Loji Belanda di Semarang

“Anda adalah kerabat Raja, tidak mungkin akan dibuang dengan alasan kejahatan. Kalau saya pasti, saya orang rendahan yang kepalanya bisa dipancangkan di alun-alun,” kata Martopuro.

Patih Notokusumo tertawa mendengarkan keluhan Martopuro. Notokusumo lalu menyatakan, jika dirinya juga bisa bernasib sama dengan Martopuro, karena Raja tidak menimbang ada tidaknya hubungan kerabat ketika menghukum seseorang.

Notokusumo mengaku menyesali keputusan Raja yang berpihak kepada Kompeni dan berbalik memerangi orang-orang Cina. Namun, perintah Raja harus dilaksanakan.

Notokusumo pun menyerahkan sepenuhnya kepada Martopuro. Ia meminta Martopuro memberi tahu kepada Kapiten Cina bahwa Pakubuwono II sudah membuang mereka setelah bersusah payah merebut loji Kompeni di Semarang.

Penyerbuan loji Kompeni di Semarang dilakukan orang-orang Cina setelah peristiwa pemberontakan Cina di Batavia pada 1740. Penyerangan loji di Semarang dipimpin oleh Martopuro secara diam-diam.

Oohya! Baca juga ya:

Raja-Raja Jawa Dulu Dianggap Kompeni Berpenyakit Tuli Hindia Timur, Penyakit Apa Itu?

Pakubuwono II menjadi raja ketika masih berusia 16 tahun menggantikan posisi ayahnya, Amangkurat IV. Masih labil. Saat itu, Patih Danurejo dan Martopuro mempengaruhi Pakubuwono II agar membenci Kompeni. Berhasil.

Tapi seiring berjalannya waktu, ia mengusir Danurejo dari keraton lalu mengangkat Notokusumo sebagai patih. Untungnya Notokusumo juga membenci Kompeni, sehingga masih bisa bekerja sama dengan Martopuro.

“Jika orang Cina sudah pergi dari Semarang, terserah padamu saja untuk mencari akal,” kata Notokusumo.

Martopuro merasa tenang setelah mendengar pernyataan dari Notokusumo, meski Notokusumo menegaskan ia tidak menyuruh dan tidak melarang. Artinya, inisiatif sepenuhnya diserahkan kepada Martopuro.

Jika tindakannya nanti dianggap salah oleh Pakubuwono, yang menanggung akibatnya juga hanya Martopuro. “Semoga saya mendapat restu Allah. Saya tidak ingin berdamai dengan Belanda,” kata Martopuro.

Martopuro menegaskan sikapnya. Ia tidak akan sedikit pun berubah pikiran untuk berdamai dengan Kompeni meski harus lebur dengan tanah.

Oohya! Baca juga ya:

Cara Kompeni Menenangkan Orang-Orang Eropa yang Resah Setelah Kapten Tack Dibunuh oleh Untung Suropati di Kartosuro

“Meski sampai mati pun, kulit, daging, dan tulang telah dikubur di tanah, meski ditembaki Kompeni, anak cucu saya enam belas turunan tidak aka nada yang berdamai dengan Belanda,” kata Martopuro.

Kepada Kaptien Cina, Singseh dan Sepanjang, Martopuro memberi tahu sikap Pakubuwono II. Ia memberi tahu keduanya, jika nanti diusir dari Semarang, sebaiknya melarikan diri ke timur.

“Besok hendaknya semua bersiap. Siapkan barisan di barat, selatan, dan timur. Sebelah utara kosongkan saja. Jika Kompeni bertanya, mengakulah bahwa semua takut membelakangi meriam. Syukur kalau orang Cina punya pikiran itu,” kata Martopuro.

Dengan taktik ini, prajurit Jawa yang dipimpin Martopuro akan berpura-pura menggembur orang-orang Cina. Tembak menembak terjadi.

Oohya! Baca juga ya:

Starbucks Masih Diboikot Gara-gara Israel, Pelanggan Bisa Mengadukan Barista ke Seatle

Taktik berikutnya, pertahanan dilonggarkan sehingga prajurit Jawa berpura-pura menyerang ke timur dan ke selatan. Itulah saatnya orang-orang Cina yang dipimpin Kapiten Sepanjang melarikan diri ke arah Demak dan yang dipimpin oleh Kapiten Singseh melarikan ke Ambarawa

Orang-orang Cina yang sakit tidak bisa ikut serta, sehingga menjadi korban pembunuhan yang kemudian diserahkan kepada Kompeni. Kompeni senang menerima bukti-bukti itu sehingga meyakini jika orang-orang Cina sudah dihabisi.

Di Ambawara, prajurit Jawa yang mengejar mereka menyerahkan bekal dari Patih Notokusumo berupa uang 500 riyal Spanyol dan 20 pucuk senjata kepada Singseh. Singseh lalu membawa orang-orang Cina bergeak ke Demak.

Di Demak, prajurit Jawa juga menyerahkan bekal dari Patih Notokusumo kepada Kapiten Sepanjang. Yaitu uang 500 riyal Spanyol dan 25 pucuk senjata kepada Kapiten Sepanjang.

Kepada Pakuwubono II, Martopuro melaporkan ada 20 orang Cina yang mati selama peperangan pengusiran dari Semarang.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad tanah Jawi Buku V, penerjemah Amir Rochyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)

Oohya! Baca juga ya:

Cegah Penggunaan Jebakan Listrik, Lomba Gropyokan Tikus Digelar di Grobogan dengan Hadiah Seekor Sapi Jantan

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]