Amangkurat II Pakai Pakaian Kompeni Malah Disangka Gubernur Jenderal, Raden Patah Pakai Pakaian Islam Malah Jatuh Sakit
Islam dan Barat mempengaruhi pakaian raja-raja Jawa. Ketika pada bangsawan Mataram berkumpul di alun-alun, mereka akan memperhatikan pakaian Susuhunan Amangkurat I.
“Van Goens mendeskripsikan bagaimana sekitar ‘empat, lima, enam, tujuh, sampai 800 bangsawan berkuda berkumpul di alun-alun’ dan ‘dengan sangat tekun’ mengamati dandanan kepala sang raja, apakah memakai tutup kepala Jawa atau surban gaya Turki,” tulis Kees van Dijk mengutip Rijckloff van Goens.
Van Goes adalah pejabat Kompeni yang pada masa Amangkurat I pernah berkunjung ke istana Mataram. Ia berkunjung pada masa Susuhunan Amangkurat I berkuasa (1646-1677).
Namun, pada periode sesudahnya, ketika Amangkurat II berkuasa, pakaian Eropa sudah diambil oleh pengganti Amangkurat I ini. Amangkurat II yang naik tahta bersekutu dengan Kompeni itu menjadi raja Jawa yang pertama kali memakai pakaian Eropa.
Oohya! Baca juga ya:
Ada Perempuan-Perempuah Garang nan Perkasa di Sekeliling Diponegoro
“Yang Mulia Raja Mangku-Rat memakai pakaian dan kaus kaki serta sepatu Belanda, celana selutut dengan kancing-kancing di bagian lutut, jas beludru tiga potong, yang terbuka di bagian depan, dihiasi dengan renda emas, diperindah dengan perhiasan, dan sebuah topi,” tulis Van Dijk mengutip Babad Tanah Jawi yang disunting oleh JJ Ras.
Cerita babad bagian ini mengisahkan pasukan perang yang berkumpul di alun-alun. Babad Tanah Jawi yang diterjemahkan oleh Amir Rochyatmo menulisnya sebagai berikut:
Prabu Amangkurat keluar dengan busana Kompeni. Ia berkaus dan bersepatu, baju tiga lapis dengan belahan di dada, bahannya beludru yang direnda indah, kaus kaki disulam benang emas.
Ia berbadong tiga susun, pinggirnya ditabur permataindah. Parasnya bercahaya seperti bintang jatuh. Pedang Uzar terselip di pinggang, selipannya berkilau dibalut emas.
Raja berada di singgasana. Banyak punggawa yang menghadap menjadi tampak suram cahayanya karena gemerlapnya busana.
Oohya! Baca juga ya:
Raja-Raja Jawa Dulu Dianggap Kompeni Berpenyakit Tuli Hindia Timur, Penyakit Apa Itu?
“Ia berpakaian sedemikian rupa sehingga dari kejauhan ia dapat disalahanggapkan sebagai ‘Sang Gubernur Jenderal dalam perjalanan mengelilingi Jawa’,” tulis Van Dijk. Apalagi, seperti digambarkan oleh Babad Tanah Jawi, pada saat itu ada bala tentara Kompeni yang mengawal di belakang Amangkurat II.
“Dengan memakai pakaian Eropa, ia digambarkan telah mengorbankan identitas Jawanya, baik secara fisik maupun sosial. Babad mendeskripkan betapa langkah ini membuat beberapa orang berpikir bahwa ia adalah seorang penyaru, putera dari seorang admiral Belanda, bukan pangeran Jawa berdarah biru,” tulis Van Dijk.
Cerita yang berbalikan terjadi pada awal berdirinya kerajaan Islam di Jawa. Raden Patah menjadi raja pertamanya, yaitu di Kerajaan Demak.
Pakaian orang Jawa pra-Islam digambarkan bertelanjang dada. Kain dikenakan melilit di pinggang menutupi anggota badan bawah sampai lutut.
“Kadang-kadang mereka mengikatkan selempang di pinggang, di mana kemudian mereka menyisipkan keris atau senjata lain, kepala mereka memakai semacam topi, namun mereka bertelanjang kaki,” tulis Van Dijk.
Oohya! Baca juga ya:
Ketika menjadi Sultan Demak, Raden Patah yang anak dari raja terakhir Majahapit, Brawijaya V, mencoba mengenakan pakaian Islam. Namun, Raden Patah selalu gagal.
“Menurut tradisi yang diceritakan oleh De Graff, Raden Patah jatuh sakit dan kehilangan kesadaran setiap kali mencoba untuk duduk di atas tahta dengan berpakaian sebagai seorang haji,” tulis Van Dijk mengutip De Graff.
Raden Patah pun berganti pakaian. “Setelah ia mengenakan tutup kepala kerajaan gaya Jawa dan ornamen-ornamen telinga, ia dapat duduk dengan selamat,” lanjut Van Dijk.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- Babad Tanah Jawi Buku III, penerjemah Amir Rochyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
- Outward Appearances, editor Henk Schulte Nordhot, penerjemah Imam Aziz (2005)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]