Diponegoro Tanggalkan Pakaian Jawa Lalu Memakai Jubah dan Surban serta tak Hadiri Acara Grebeg, Apa Alasannya?
Islam mempengaruhi pakaian orang Jawa. Salah satunya adalah kebaya janggan yang didesain untuk menutup leher perempuan dan jubah dan surban yang dikenakan para pangeran, termasuk Pangeran Diponegoro.
Memperingati hari-hari Islam yang tidak dihadiri oleh pejabat-pejabat kolonial, para pangeran Jawa akan mengenakan jubah dan surban. Namun, Pangeran Diponegoro tidak pernah menghadiri acara-acara grebeg, seperti grebeg pasa, grebeg syawal, grebeg maulud yang diadakan di keraton.
Padahal Diponegoro adalah wali sultan. Pada 19 Desember 1822, Raden Mas Menol yang baru berusia dua tahun diangkat sebagai sultan, bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono V.
Bukan karena acara grebeg itu sebagai perbuatan syirik, sehingga Diponegoro tidak menghadirinya. Diponegoro dan Mangkubumi telah diangkat sebagai wali sultan karenanya wajib memimpin acara grebeg.
Oohya! Baca juga ya: Ini Hal yang tidak Bisa Dilakukan di Starbucks, Kedai Kopi yang Sedang Diboikot Gara-gara israel
Namun, hal itu tidak pernah terjadi. Ratu Ageng dan Ratu Kencono keberatan jika Diponegoro duduk di singgasana untuk menerima sembah sungkem dari para bupati di acara grebeg itu.
Mereka justru mengundang Residen Yogyakarta untuk duduk di singgasana dan para bupati lantas menyembahnya. Ini tindakan yang membuat Diponegoro tersinggung. Ia menyebut tindakan ini sebagai penghinaan terhadap martabat orang Jawa.
Sejak muda Diponegoro sudah terbiasa memakai jubah dan surban. Tinggal di Tegalrejo, wilayah diluar lingkungan keraton, ia banyak belajar agama Islam.
Lingkungan Tegalrejo merupakan lingkungan religius. Selain suka menyepi ke gua, Diponegoro juga rajin ke pesantren untuk belajar agama.
Ia sangat menyukai cerita sejarah Nabi. “Saat paling membahagiakan baginya adalah ketika dapat berkumpul dengan santri (rendahan) yang miskin (lamun kang den karemi tunggal lan santri alit kang samya nisthanipun),” tulis Saleh As’ad Djamhari.
Oohya! Baca juga ya: Starbucks Masuk Daftar yang Harus Diboikot karena Israel, Pernah Ada Barista yang tidak Tidur Tiga Hari
Di luar istana ia hidup di lingkungan yang religius, tetapi di dalam istana ia justru menemukan gaya hidup sekuler. Baik pada masa pemerintahan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III (1812-1814), maupun pada masa pemerintahan Hamengkubuwono IV dan Hamengkubuwono V.
“Masa pemerintahan Hamengkubuwono IV (1814-1822) adalah masa ‘keemasan’ masuknya pengaruh budaya Eropa di Jawa,” kata Saleh As’ad Djamhari.
Hamengkubuwono IV dikenal sangat sekuler, suka hidup mewah, dan meniru gaya hidup orang Belanda. Ia anak Hamengkubuwono III dari permaisuri, sedangkan Diponegoro anak Hamengkubuwono III dari istri selir.
Diponegoro sering menasihati adiknya itu, tetapi nasihatnya tidak pernah digubris. Hamengkubuwono IV lebih menerima nasihat dari Patih Danurejo yang memegang kendali keraton.
Hamengkubuwono IV diangkat menjadi sultan pada usia 10 tahun. Belanda menunjuk Patih Danurejo sebagai walinya.
Wajar jika kehidupan sekuler di keraton membuat Diponegoro tidak betah.Terlebih lagi intrik-intrik di keraton juga membuat dirinya tersingkir.
Hidup di luar keraton justru memberi kesempatan kepada Diponegoro dapat menggalang solidaritas dari rakyat. “Saya bukan Diponegoro, saya adalah Ngabdul Kamid,” kata Diponegoro mengenai sebutan untuk dirinya.
Ia memang memilih menjadi pemimpin di luar keraton dengan bersendikan ajaran Islam. Dari luar keraton, ia merasa perlu mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang Islami.
Oohya! Baca juga ya: Ini Lokasi di Puncak Gunung yang Menjadi Tempat Favorit untuk Berfoto Para Pendaki Amatir
Diponegoro, menurut Peter Carey, “Mengangkat dirinya sebagai pengatur agama di Pulau Jawa (ratu paneteg panatagama).” Hal ini sesuai dengan cara para wali menjalankan kekausaan agama di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16.
Gelarnya sangat panjang. Orang Jawa mengenalnya sebagai Sultan Ngabdul Kamid Herucokro Ngamirulmukminin Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa.
“Ia juga mulai meninggalkan pakaian Jawa dan menggantinya dengan pakaian Rasul yang serba putih. Secara simbolik, sikap itu menegaskan idealismenya untuk mengikuti jejak dan perbuatan Nabi,” kata Saleh As’ad Djamhari.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- Asal Usul Perang Jawa karya Peter Carey (2001)
- Outward Appearances; Trend, Identitas, Kepentingan editor Henk Schulte Nordholt (2005)
- Strategi Menjinakkan Diponegoro karya Saleh As’ad Djamhari (2014)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]