Starbucks Masuk Daftar yang Harus Diboikot karena Israel, Pernah Ada Barista yang tidak Tidur Tiga Hari
Sebutan barista populer di Indonesia setelah Starbucks berdiri di Tanah Air. Kini, kedai kopi asal Amerika Serikat itu masuk daftar yang harus diboikot setelah Israel menyerang Palestina.
Starbucks dituding mengalirkan dana keuntungannya ke Israel. Gerakan boikot bermula dari tindakan Starbucks menggugat serikat pekerjanya, awal November 2023.
“Starbucks menuduh serikat pekerja yang mewakili ribuan barista merusak merek dan membahayakan rekan kerja dengan tweet pro-Palestina,” tulis republika.co.id pada 11 November 2023. Starbucks telah membantah tudingan membantu Israel.
Mayoritas pekerja Starbucks adalah barista. Tugas mereka tidak hanya hanya menyeduh kopi, melainkan juga membersihkan kedai setelah tutup.
Oohya! Baca juga ya: Ini Lokasi di Puncak Gunung yang Menjadi Tempat Favorit untuk Berfoto Para Pendaki Amatir
“Ketika closing, barista harus mengepel atau menyikat lantai dan mencuci semua peralatan yang dipakai sepanjang hari itu,” tulis Rahayu Kusasi yang pernah menjadi barista Starbucks.
Rahayu Kusasi pernah melayani kebutuhan kopi seduh untuk rapat khusus Presiden Starbucks International Martin Coles yang datang di Indonesia pada 2006. Ia bahkan sempat berdikusi kecil soal globalisasi, tema yang akan ia bahas dalam skripsinya di Jurusan Antropologi Universitas Indonesia.
Rahayu melamar menjadi barista di Starbucks pada Juli 2005. “Di Starbucks karyawan barista disebut partners,” tulis Rahayu.
Starbucks masuk Indonesia pada 2002. Barista angkatan pertama menerima pelatihan langsung dari Seatle, kantor pusat Starbucks di Amerika Serikat.
Rahayu juga mendapat pelatihan selama dua minggu oleh barista-barista senior yang ada di Jakarta. Bersama calon barista lain, Rahayu dilatih mencicipi kopi (coffee tasting) untuk dapat membedakan rasa kopi.
“Coffee tasting dipimpin oleh satu orang untuk memberi aba-aba menghirup bau kopi, menyeruput kopi, dan memberikan deskripsi mengenai kopi tersebut,” tulis Rahayu.
Oohya! Baca juga ya: Indonesia Memiliki Sebutan Zamrud Khatulistiwa, Siapa Pencetusnya?
Hari pertama masuk, Rahayu melihat latihan membuat minuman seperti espresso, cappuccino, dan sebagainya. Ruang pelatihan berisi bar espresso lengkap dengan berbagai alat.
Ada alat penyaring air, blender, mesin penyeduh kopi, mesin penggiling kopi, mesin pembuat es, mesin espresso. Selama pelatihan dilakukan berbagai simulasi membuat minuman seperti halnya di kedai. Beberapa calon barista berperan sebagai barista, beberapa lainnya berperan sebagai pelanggan.
“Keahlian-keahlian dasar juga diajarkan seperti membuat sirup moka, coffee base, cream base, dan sebagainya. Bahan-bahan dasar ini digunakan untuk menciptakan berbagai minuman yang ada di Starbucks,” tulis Rahayu.
Untuk mendapatkan espresso, misalnya, bubuk kopi ditakar di portafilter dan kemudian dipadatkan. Portafilter itu kemudian dipasang di mesin penyeduh. Ketika mesin penyeduh dinyalakan, muncul tekanan air panas ke bubuk kopi di poltafilter.
“Kegiatan ini bernama pull a shot karena biasanya barista menarik tuas pada penyeduh espresso manual untuk mengeluakan air panas,” tulis Rahayu.
Dari dua saluran di portafilter, sari kopi akan mengucur. Dua gelas seukuran dua oz menampung kucuran itu dalam wakt 18-23 detik. Satu oz setara dengan 28 gram.
Jika sari kopi itu mengucur kurang dari 18 detik, espresso akan terlalu encer. Jika lebih dari 23 detik, espresso akan terlalu kental. Rasa juga lebih pahit.
Oohya! Baca juga ya: Ini Arti Nama Untung Suropati, Budak Perwira Kompeni yang Minta Perlindungan kepada Amangkurat II di Kartosuro
Cairan yang ada di bagian bawah gelas berwarna hitam. Disebut sebagai body. Di atas body ada cairan yang berwarna lebih muda, disebut heart. Cairan di bagian paling atas berwarna cokelat, disebut krema.
“Espresso yang memenuhi standar akan memiliki komposisi lapisan yang tepat. Sebab setiap lapisan memberikan rasa yang berbeda,” kata Rahayu. Body dan heart memiliki rasa pahit, sedangkan krema memberi rasa manis khas espresso.
Suatu hari, barista Ferdi menawari Rahayu secangkir kopi. Ferdi menyebutnya red-eye, memberikan kepada Rahayu dengan senyum menyengir.
Oohya! Baca juga ya: Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi Sidang Umum UNESCO, Bahasa Ini Lahir karena Tabrani Tersinggung oleh Belanda
Melihat sengiran Ferdi, Rahayu curiga, tetapi ia tertarik untuk mencobanya.Ia seruput kopi hitam red-eye itu.
Red-eye diseduh dari coffee of the day dengan satu shot espresso. “Hasilnya, saya terjaga selama tiga hari. Bukan tidak tidur sama sekali, tetapi dengan waktu tidur yang sangat sedikit, kesadaran saya terjaga sekali,” kata Rahayu yang mengerti makna senyum menyengir Ferdi saat menawarkan red-eye kapadanya.
“Lu tahu shot in a cup nggak Yu?” tanya Mirza, manajer kedai, suatu hari, sambil membuat kopi di bar.
Oohya! Baca juga ya: Jangan Heran Jika Si Mawar dan Si Manis Jadi Anggota Parlemen Aceh di Abad ke-17, Ini Kata Hamka Setelah Mengetahui Perjuangan Cut Nyak Dien
Belum juga Rahayu menajwab, Mirza sudah menjawabnya sendiri. “Nama lainnya red-eye.” Kata Mirza.
Mirza menyebut, red-eye lebih cocok dengan kopi dari Amerika Latin. Hari itu, coffee of the day yang ditulis di papan menu adalah kopi Guatemala Antigua.
Rahayu penasaran dengan pernyataan Mirza. Ia menyelidik tentang karakter kopi Amerika Latin.
Kata Mirza, karakter rasa espresso cocok dengan kopi Amerika Latin. “Espresso kan blend Amerika Latin sama kopi Indonesia. Amerika Latin itu rasanya balance banget, jadi enak dikasih espresso,” kata Mirza.
Oohya! Baca juga ya: Penduduk Sumatra Barat Hanya Minum Kopi Daun, Belanda Menikmati Harga Jual Kopi 40 Gulden Per Pikul
Jika dengan kopi Indonesia atau Afrika bagaimana? “Kalo sama kopi Indonesia, nanti rasanya akan terlalu bold. Kalo sama kopi Afrika nanti gak nyambung manis espressonya ke rasa fruity,” jelas Mirza.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Globucksisasi, Meracik Globalisasi melalui Secangkir Kopi karya Rahayu Kusasi (2010)