Pitan

Jangan Heran Jika Si Mawar dan Si Manis Jadi Anggota Parlemen Aceh di Abad ke-17, Ini Kata Hamka Setelah Mengetahui Perjuangan Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien mendampingi suaminya Teuku Umar, berperang melawan Belanda. Jangan heran jika di masa lalu sudah ada perempuan yang menjadi anggota parlemen Kesultanan Aceh.

Termasuk Si Mawar dan Si Manis, setidaknya ada 16 perempuan yang menjadi anggota parlemen Kesultanan Aceh pada aba ke-17. Buya Hamka memiliki penjelasan mengenai latar belakangnya.

Buya Hamka bercerita tentang Cut Nyak Dien yang menolak uluran tangan opsir Belanda yang menjabat tangannya. “Bek kamat ke, kapeh celaka,” ujar Cut Nyak Dien, seperti yang diceritakan oleh Hamka. Artinya: “Jangan pegang tanganku, kafir celaka.”

Mendampingi suaminya, Teuku Umar, Cut Nyak Dien berperang melawan Belanda. Setelah Teuku Umar meninggal pada 11 Februari 1899, ia pun tetap meneruskan perang hingga 1905.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Setidaknya Ada 16 Perempuan di Parlemen Kesultanan Aceh Abad ke-17 dengan Celana Panjang dalam Pakaian Adat, Tercatat Ada Si Mawar dan Si Manis

Bahkan, ia tetap berperang kendati Sultan Aceh telah menyerahkan diri kepada Belanda pada 20 Januari 1903. Badannya sudah semakin kurus selama hidup di hutan bersama 4-5 pengikutnya.

Tetapi karena Sultan Aceh Muhammad Daud Syah sudah tunduk kepada Belanda, pengikut Cut Nyak Dien memberi tahu lokasi persembunyian Cut Nyak Dien. Alasannya karena merasa sudah tidak ada guna lagi melanjutkan perlawanan.

Keterlibatan perempuan Aceh dalam berperang, membuat mereka memiliki pakaian adat dengan celana panjang. Dengan pakaian ini, mereka bisa gesit bergerak.

Mereka tidak hanya aktif menyediakan bekal makanan untuk berperang, merawat yang luka, tetapi juga maju ke garis depan. Maka, tak heran jika Cut Nyak Dien terus mendampingi suaminya selama berperang.

Perempuan Aceh, kata Hamka, didorong oleh semangat jihad karena ingin menegakkan agama Allah bersama kaum laki-laki. “Pikirkanlah dengan dalam! Betapa jauh perbedaan latar belakang wanita Aceh 358 tahun yang lalu itu dengan perjuangan wanita zaman sekarang,” tulis Hamka pada tahun 1963.

Oohya! Baca juga ya:

Ini Lokasi di Puncak Gunung yang Menjadi Tempat Favorit untuk Berfoto Para Pendaki Amatir

Semangat perempuan Aceh ala Cut Nyak Dien ini sudah ada sejak abad ke-17. Perempuan Aceh telah memiliki hak mengelola negeri. Mereka, kata Hamka, “Ikut memikul kewajiban untuk agama, bangsa, dan negara dengan penuh rasa tanggung jawab. Ulama pun menyokong mereka.”

Jalannya pemerintahan negeri, tidak hanya di tangan sultan seorang. Sultan didampingi oleh perdana menteri (panglima polim). Panglima polim memiliki kewenangan menurunkan sultan jika sultan tidak menjalankan undang-undang kerajaan.

Panglima polim pertama adalah kakak ipar Sultan Iskandar Istani. Iskandar Istani menikah dengan Syafiyatuddin, anak perempuan Sultan Iskandar Muda dari permaisuri. Panglima polim pertama merupakan kakak Syafiyatuddin, tetapi dari istri selir.

Selain itu masih ada pula tiga tingkat balai musyawarah (parlemen), yaitu Balairung, Balai Gading, dan Balai Majelis Mahkamah Rakyat. Sultan Aceh menetapkan parlemen ini pada tahun 1632 Masehi.

Ketika Syafiyatuddin menjadi sultanah menggantikan suaminya yang meninggal, ia menetapkan perempuan menjadi anggota Balai Majelis Mahkamah Rakyat. Jika di Balairung ada emat hulubalang terbesar di Aceh, di Balai Gading ada 22 ulama besar, maka di Balai Majelis Mahkamah Rakyat ada 73 anggota wakil dari 73 mukim.

Ada 17 perempuan anggota Balai Majelis Mahkamah Rakyat yang dicatat di Qanun Al Asyi Darussalam. Tapi ada satu nama yang berdasarkan identifikasi nama belum bisa dipastkan jenis kelaminhya, yaitu Si Nyak Tampli.

Oohya! Baca juga ya:

15 November, Ini Cerita Kiai Sadrach Penginjil Sesat yang Sukses Mengkristenkan Orang Jawa

Nama-nama mereka adalah sebagai berikut:

Si Nyak Bunga, Si Halifah, Si Sanah, Munabinah, Siti Cahaya, Mahkiyah, Si Bukih, Si Nyak Ukat, Si Nyak Puan, Nadisah, Si Jibah, Uli Puan, Siti Awan, Si Nyak Angka, Si Nyak Tampli, Si Mawar, dan Si Manis.

Melihat semangat yang ditunjukkan oleh Cut Nyak Dien dan pengikutnya dalam berperang, maka Hamka memahami jika di masa lalu ada banyak perempuan duduk di parlemen Aceh.

“Semangat wanita pada suku bangsa yang seperti ini tidak mengherankan jika ada di antara mereka yang sampai menjadi anggota Balai Majelis Mahkamah Rakyat, bahkan empat orang sampai menjadi sultan Aceh,” tulis Hamka.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Dari Perbendaharaan Lama karya Prof Dr Hamka (1994)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]