Lincak

15 November, Ini Cerita Kiai Sadrach Penginjil Sesat yang Sukses Mengkristenkan Orang Jawa

Kiai Sadrach (kanan) dan Wilhelm (kiri). Sadrah meski dianggap sebagai penginjil sesat, ia berhasil memgristenkan 5.000 orang Jawa.

“Pada tanggal 15 November 1924, Sadrach Jawa yang terkenal meninggal dunia,” tulis Algemeen Handelsblad, tiga bulan setelah kematian Sadrach di Jawa.

Sadrach adalah penginjil di Jawa di Bagelen yang disebut sebagai penginjil sesat. Ia menciptakan komunitas Kristen-Jawa, dengan mengenalkan Yesus Kristus sebagai ratu adil yang telah ditunggu-tunggu oleh orang Jawa.

Sadrach adalah murid dan kerabat Tunggul Wulung. Tunggul Wulung pernah tinggal di Ngoro, komunitas Kristen-Jawa yang dibentuk oleh Coolen –pembuka hutan di Ngoro yang menjadi salah satu penyebar Kristen-Jawa.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Anggota Pramuka akan Diwajibkan Memiliki Tanda Kecakapan Khusus (TKK) Pelestarian Mangrove

Kunci utama pengajaran Kristen Jawa adalah menggunakan rapal. Ajaran-ajaran Kristen dirapalkan, menjadi seperti mantra yang harus diucapkan pengikutnya.

Ketika lembaga zending Belanda kesulitan menyebarkan Kristen di Jawa, Sadrach mampu mendapatkan banyak pengikut dengan mudah. Ia mengkristenkan 5.000 orang Jawa.

“Sadrach adalah salah satu tokoh paling luar biasa di kalangan masyarakat Jawa pada paruh kedua abad yang lalu, seorang yang pengaruh besarnya tersebar luas,” lanjut Algemeen Handelsblad.

Dalam tardisi masyarakat Jawa, masyarakat akan berburu ngelmu. Ini ilmu untuk meningkatkan kesaktian diri dengan mempelajari rapal.

Orang yang telah memiliki ngelmu, biasanya tidak akan memberi tahu kepada orang lain.  Tapi, Sadrach tidak. Ia dengan senang hati mengajarkan ngelmu Injilnya, seperti yang dilakukan oleh Coolen di Ngoro.

Membuka hutan yang ia sewa dari pemerintah, Coolen lalu mendirikan kampung. Kriminal-kriminal datang kepadanya. Dengan rapal pula ia menyebarkan Kristen.

Oohya! Baca juga ya: Ratu Kalinyamat Lakukan Tapa Telanjang, Benar atau Hanya Simbolik? Ini Catatan Penulis Portugis Soal Tapa

Ia menggarap sawah sendiri. Ketika membajak, seperti petani Jawa pada umumnya, selalu melantuntan tembang Jawa.

Maka, Coolen melantunkan tembang Jawa yang mengenalkan Yesus Kristus:

Ya Gunung Semeru, laksana tiang Pulau Jawa
Semoga aku dapat senantiasa memenuhi karya pertanianku
Bagi kesukaan Dewi Sri sebagaimana ia tampil pada padinya
Yang mengaruniaku perkenan adalah Allah yang Kudus
Iyo ilahailelah Yesus Kristus Roh Allah

Tunggul Wulung yang semula bernama Abdullah meninggalkan kampunga di Jepara, lalu menjadi pertapa di gunung. Ia lantas menggni namanya menjadi Tunggul Wulung.

Dalam pengelanaannya kemudian, ia pernah singgah beberapa waktu di Ngoro, di desa baru yang dibangun oleh Coolen.

Sadrach, yang memiliki nama Radin, juga berkelana meninggalkan kampung halamannya di daerah Demak, ketika bencana kelaparan menimpa Demak. Pengelanaannya itu ia pakai untuk berburu ngelmu.

Ia pun keluar masuk pesantren. Termasuk juga pernah ke Ngoro, berguru ngelmu dengan Coolen.

Oohya! Baca juga ya: Bikin Bangga, Briptu Renita Rismayanti Dapat Penghargaan Sebagai Petugas Polisi Wanita Terbaik PBB 2023

Maka, ketika ia menjadi penyebar Injil, cara-cara yang dilakukan oleh Coolen juga ia terapkan. Cara ini terbukti ampuh lebih cepat menarik minat orang Jawa menjadi pengikutnya.

Ada yang menentang cara Sadrach, tetapi ada juga yang mendukungnya setelah melihat hasil kerja Sadrach. Zendeling Wilhelm memperlakukan Sadrach sebagai rekan kerjanya, alih-alih menjauhinya.

“Dia ingin mempertahankannya sebagai guru Jawa dan memanfaatkan bakat penginjilannya yang luar biasa,” tulis Algemeen Handelsblad, mengenai sikap Wilhelm terhadap Sadrach.

Oohya! Baca juga ya: Gara-gara Kongres Pemuda, Komisaris Polisi Belanda Dicopot Jabatannya dan Tabrani Diperiksa di Kantor Penasihat Urusan Pribumi

Dalam tradisi pencari ngelmu Jawa, mereka akan adu kesaktian untuk mencari pengaruh. Yang kalah harus tunduk pada yang menang.

Maka, pola ini juga diberlakukan dalam program mengkristenkan orang Jawa. Kiai-kiai kampung diajak adu kassaktian berupa debat keagamaan.

Jika mereka menang, penyebar Injil yang kalah harus masuk Islam, menjadi santri kiai kampung itu. Tapi jika penginjil yang menang debat, maka kiai-kiai kampung itu harus bersedia pindah agama, memeluk Kristen.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
- Algemeen Handelsblad, 25 Februari 1925
- Dewi Sri dan Kristus karya Phillip van Akkeren, penerjemah BA Abednego (1995)
- Het Vaderland, 6 Desember 1916
- Kiai Sadrach karya C Guillot, penerjemah Asvi Warman Adam (2020)

 

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]