Ratu Kalinyamat Lakukan Tapa Telanjang, Benar atau Hanya Simbolik? Ini Catatan Penulis Portugis Soal Tapa
Babad Tanah Jawi menyebut Ratu Kalinyamat melakukan tapa telanjang setelah suaminya dibunuh. Tim Pakar Ratu Kalinyamat menyatakan hal ini tidak bisa dimaknai secara harfiah.
Tim pakar untuk pengusulan Ratu Kalinyamat sebagai pahlawan nasional ini diketuai oleh Prof Dr Ratno Lukito. Anggotanya terdiri dari Dr Alamsyah, Dr Chusnul Hayati, Dr Connie Rahakundini Bakrie, dan Dr Irwansyah.
Menurut Tim Pakar Ratu Kalinyamat, tapa telanjang tidak ada dalam tradisi masyarakat Jawa. Ada 11 jenis tapa yang biasa dilakukan orang Jawa di masa lalu, di dalamnya tidak ada tapa telanjang.
Orang Jawa memiliki pepatah: Jawa tapa, Landa guna, Cina banda, Arab agama. Artinya orang Jawa memilih meninggalkan urusan duniawi, orang Belanda menginginan manfaat, orang Cina mencari kekayaan, orang Arab menyebarkan agama.
Oohya! Baca juga ya: Etnolog Belanda PJ Veth Heran Ratu Kalinyamat Bisa Menjadi Pemimpin di Negeri Islam dan Bertapa Telanjang
Tim Pakar Ratu Kalinyamat mengutip catatan arkeolog Belanda J Knebel pada 1897, menyebutkan 11 jenis tapa yang dilakukan orang Jawa pada abad ke-16:
1. Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.
2. Tapa nguwat, yaitu bersemedi di samping makam (nenek moyang anggota keluarga atau orang keramat, dalam suatu jangka waktu tertentu).
3. Tapa bisu, dengan menahan diri untuk tidak berbicara. Cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.
4. Tapa bolot, yaitu tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.
Oohya! Baca juga ya: Ratu Kalinyamat Jadi Pahlawan Nasional, Ternyata Penguasa Maritim yang Bantu Aceh dan Malaka Melawan Portugis
5. Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.
6. Tapa ngramban, dengan menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan.
7. Tapa ngambang, dengan jalan merendam diri di tengah sungai selama beberapa waktu yang sudah ditentukan.
8. Tapa ngeli, adalah cara bersemedi dengan membiar diri dihanyutkan arus air di atas sebuah rakit.
9. Tapa tilem, dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa.
10. Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk.
11. Tapa mangan, dilakukan dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan.
Di daftar itu tidak ada tapa wuda (telanjang). Di daftar itu juga tidak ada tapa ngrowot, yaitu tapa dengan cara tidak makan nasi.
Oohya! Baca juga ya: Pernah Ajukan Keberatan, Doktor UGM Sebut Ratu Kalinyamat Rendahkan Martabat Perempuan
Juga tidak ada tapa pati geni, yaitu bertapa dengan cara menghindari cahaya. Tapa ngebleng juga tidak masuk dalam daftar itu. Tapa ngebleng adalah bertapa dengan cara tidak makan minum di tanggal-tanggal ganjil.
Tapa berendam di pertemuan arus sungai, yang disebut tapa kungkum, juga tidak masuk dalam daftar itu. Pun tapa pendem, yaitu bertapa di dalam tanah, juga tidak ada di dalam daftar.
Apakah jenis tapa yang tidak ada di dalam daftar yang disusun Knebel itu belum ada di abad ke-16? Tapa kungkum jelas sudah tua juga, karena Sunan Kalijaga melakukannya.
Tapa, menurut Bausastra Jawa karya Poerwadarminta: nglakoni matiraga sarta sumingkir saka ing alam rame (menjalani matiraga dan menjauh dari pergaulan masyarakat). Matiraga artinya menahan hawa nafsu atau menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.
“Jadi, tapa wuda merupakan makna simbolik keikhlasan Ratu Kalinyamat untuk meninggalkan kemewahan duniawi yang didorong oleh penyerahan total kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,” tulis Tim Pakar Ratu Kalinyamat.
Oohya! Baca juga ya:
Penulis Portugis Tome Pires yang bercerita mengenai Jawa, sedikit membahas tapa yang dilakukan orang Jawa. Menurut dia, ada sekitar 50 ribu pertapa laki-laki di Jawa pada masa itu.
Tomes Pires mengumpulkan catatan pada 1512-1515 pada saat Jepara dipimpin Dipati Unus. Ratu Kalinyamat lahir pada tahun 1514 dan melakukan tapa telanjang pada 1549 atau 1550.
Ternyata tapa ada alirannya. Meski tidak menyebutkan nama-nama alirannya, Tome Pires menyebut jumlahnya, ada 3-4 aliran.
Para pertapa ini dipuja oleh orang-orang Moor. Yang disebut orang Moor adalah orang-orang di Jawa yang menganut Islam, bangsa Moro, yang berasal dari Andalusia.
Orang-orang Moor ini senang memberi mereka sedekah. Akan lebih senang lagi jika para pertapa mengunjungi rumah mereka, meski para pertapa itu tidak akan makan di dalam rumah mereka, melainkan di luar rumah.
Para pertapa itu jika bepergian, mereka melakukannya dengan berkelompok, 2-3 orang. “Saya pernah beberapa kali melihat 10 atau 12 pertapa ini di Jawa,” tulis Tome Pires.
Dengan penjelasan ini, tergambar jika bertapa itu tidak seperti yang digambarkan di film-film, duduk bersila melakukan semedi. Mereka juga melakukan aktivitas. Jadi, semedi hanya merupakan bagian dari tapa.
Bagaimana dengan pertapa perempuan? Tome Pires menyebut jumlahnya dua kali lipat dari pertapa pria. Ada lebih dari 100 ribu pertapa perempuan di Jawa pada masa itu.
Oohya! Baca juga ya:
Tentu ada sebabnya sehingga pertapa perempuan lenih banyak. Para pertapa perempuan ini ada yang tidak menikah, ada yang bertapa setelah kehilangan suami.
Dalam tradisi Jawa pra-Islam, perempuan yang ditinggal mati suaminya akan ikut mati juga dengan cara membakar diri atau menenggelamkan diri atau bunuh diri dengan keris. Tapi ada juga yang menolak ikut mati, lalu bertapa.
Para pertapa mengasingkan diri di pegunungan. Mereka membangun tempat tinggal.
"Mereka membangun rumah di pegunungan dan tinggal di sana hingga akhir hayatnya,” tulis Tome Pires.
“Mereka hidup dalam kesucian hingga mati. Mereka membangun rumah-rumah mereka di tempat terpencil,” ulang Tome Pires.
Babad Tanah Jawi tidak menggambarkan detail tempat tapa Ratu Kalinyamat. Tapi diceritakan ada banyak pembantu yang menyertainya, artinya tentu ada pesanggrahan di tempat bertapa itu.
Oohya! Baca juga ya:
Jika kemudian Joko Tingkir, adik ipar Ratu Kalinyamat, disertai oleh Ki Ageng Pemanahan, bisa mengunjungi Ratu Kalinyamat, kita juga menjadi tidak heran meski Ratu Kalinyamat sedang bertapa telanjang. Jika di lokasi pertapaan ada rumah, maka ia telanjang di dalam rumah itu, sehingga tidak merendahkan martabat perempuan.
Dialog dengan Joko Tingkir dan Ki Ageng Pemanahan bisa dilakukan dengan tidak saling bertemu muka. Sebab ada dinding atau tirai sebagai pembatasnya.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- De Indische Courant, 21 Februari 1939
- Pernyataan Akademik Tim Pakar Ratu - Kalinyamat, 17 Agustus 2022
- Suma Oriental karya Tome Pires, penerjemah Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti (2014)