Selama di Grobogan, Anak Sunan Giri Bersama Dua Santri Kunjungi Lokasi Api 'Sumber Kekuasaan yang Bersinar'
Selihat melihat Kesongo, Bleduk Kuwu, dan Desa Selo, Amongrogo –anak Sunan Giri—melanjutkan perjalanan ke Mrapen. Bersama dua santrinya, Gathak dan Gathuk, Amongrogo harus berjalan ke barat laut, ke arah Semarang.
Di Desa Selo, ia telah mendengar cerita dari cicit Ki Ageng Getas Pendowo yang menjaga makam Ki Ageng Selo. Ki Ageng Selo adalah anak Ki Ageng Getas Pendowo.
Ki Ageng Selo adalah cucu dari Bondan Kejawan. Ki Ageng Selo adalah cicit Raja Majapahit Brawijaya V.
Oohya! Baca juga ya: Pencetus Bahasa Indonesia Berdarah Santri Madura Itu Pernah Dicap Murtad oleh Kiainya
Ki Ageng Selo menangkap petir, lalu diikat di pohon gandri. Maka, dulu, penduduk Grobogan selalu berujar “gandri anak putune Ki Ageng Selo” setiap ada petir menyambar.
Petir itu kemudian dibawa ke Demak untuk diperlihatkan kepada Sultan Demak. Petir itu pula yang menjadi sumber api abadi yang hingga kini masih ada di Desa Selo.
“Pohon gandri yang digunakan mengikatnya, setelah petir dipersembahkan kepada raja, terus tetap menyala-nyala. Ki Ageng Selo memerintahkan kepada anak cucu dan pembantunya, ‘Ambillah api petir itu! Gunakan sebagai penerang rumah. Insya Allah benar-benar ditakuti petir. Maka itu jangan sampai padam'.” Demikian Centhini berkisah.
Oohya! Baca juga ya: Santri Ini Jadi Bupati Grobogan Pertama yang Bergelar Haji, Sejak Zaman Mataram Bupati Grobogan Bergelar Raden
“Sebelum Garebeg Mulud, utusan dari Surakarta atang ke makam Ki Ageng Selo untuk mengambil api abadi yang selalu menyala di makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja-raja Yogyakarta. Api dari Selo dianggap sebagai keramat.” Demikian yang ditulis di buku Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Grobogan yang disusun oleh Pemda Grobogan dan Jurusan Sejarah UNS.
Di Mrapen, Amongrogo dan dua santrinya bertemu Datuk Bahni yang mendiami rumah berbentuk masjid. Setelah melakukan shalat Maghrib, Amongrogo dan Gathak Gathuk dijamu Datuk Bahni.
Kepada Datuk Bahni, Amongrogo bercerita melihat tanah lapang yang mengeluarkan api. Di dekat api itu apa batu yang bagus.
Oohya! Baca juga ya: Hiruk Pikuk Pilpres 2024, Sejuta Kabut di Depan Para Pemuda
Datuk Bahni pun menjelaskan bahwa yang menyala itu adalah Mrapen. Ia pun mengajak Amongrogo melihatnya dari dekat. Datuk Bahni menjelaskan asal usul api dan batu bagus itu, yang ada semasa ada boyong-boyong barang-barang berharga dari Majapahit dibawa ke Demak.
Boyong-boyong itu dipimpin Sunan Kalijaga. Namun, ketika fajar menjelang tiba, rombongan baru sampai di Mrapen.
Batu yang dibawa akan digunakan untuk sendi tiang masjid. Sedangkan pembangunan masjid di Demak, harus sudah selesai sebelum fajar.
Maka, batu itu ditinggalkan di Mrapen. Rombongan segera melanjutkan perjalanan ke Demak.
Sebelum melanjutan perjalanan mereka ingin menghilangkan rasa haus tetapi tidak ada air. Sunan Kalijaga pun menancapkan tongkatnya ke tanah.
Ketika tongkat dicabut, bukan air yang keluar, melainkan api. “Sejak itulah tempat itu disebut Mrapen,” kata buku Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Grobogan.
Ooha! Baca juga ya: Papeda Jadi Google Doodle, Ternyata di Masa Lalu Orang Jawa Juga Makan Papeda dengan Garang Asem
Sunan Kalijaga pun menancapkan lagi tongkatnya di tempat yang berbeda. Barulah air keluar setelah tongkatnya dicabut. Anggota rombongan boyong-boyong pun meminum air itu.
Di kemudian hari, batu, air, dan api itu dimanfaatkan oleh Empu Supo untuk membuat keris. Bahan keris dipanaskan di api, lalu dicelup ke air, dan dibentuk di atas batu bagus itu. Bahan keris itu hanya besi sebesar biji asam, yang didapatkan oleh Empu Supo dari Sunan Kalijaga.
Api abadi Mrapen itu beberapa diambil untuk menyalakan api Pekan Olah Raga Nasional (PON). Api untuk Ganefo pada 1963 dan api untuk Asian Games 1918 juga diambil dari Mrapen ini.
Oohya! Baca juga ya: Dua Pasangan Capres-Cawapres Sudah Daftar ke KPU, Ini Makna Motif Kain Tenun yang Dikalungkan kepada Mereka
Apa bedanya api abadi di Selo dan api abadi di Mrapen? B Schrieke, yang pernah menjadi pejabat Urusan Pribumi, seperti dikutip oleh buku Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Grobogan, menulis: api Selo itu mencerminkan asas kekuasaan yang bersinar.
Tidak ada penjelasan simbolis mengenai api abadi Mrapen. Dari Mrapen Amongrogo dan dua santrinya pergi ke Gunung Prawoto di Demak, arah barat laut dari Mrapen menuju ke Semarang.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Centhini Jilid 1 karya Ngabei Ranggasutrasna dkk, koordinator penyadur/penyunting Darusprapta (1991)
- Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Grobogan (1990/1991)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]