Kendeng

Kakeknya Dulu Wedana Grobogan, Pengusaha Orde Baru Ini Kini Berseteru dengan Pemerintah dalam Kasus Hotel

Hotel milik cucu Wedana Grobogan ini dibangun di atas tanah milik negara. Pemerintah sekarang meminta kembali.

Raden Mas Sastrodiredjo diangkat menjadi Wedana Grobogan pada 5 Agustus 1910. Cucunya yang menjadi pengusaha Orde Baru itu pada 1992 dijuluki Presiden Soeharto sebagai Bandung Bondowoso Abad Ini.

Di tangan cucu Wedana Grobogan itu, lahir Jakarta Hilton Convention Center (JHCC). Disebut Bandung Bondowoso karena pembangunannya selesai begitu cepat.

JHCC semula adalah Balai Sidang Senayan. Karena akan dipakai sebagai tempat Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok X (KTT Non-Blok X), maka perlu direnovasi.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Menyambut Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII, Mengingat Kembali Protes 1.000 Guru di Aceh

Dari hitung-hitungan di atas kertas, pengerjaannya tidak mungkin selesai dalam waktu setahun. KTT akan dilangsungkan pada September 1992, tetapi Indonesia diputuskan sebagai tuan rumah KTT pada Oktober 1991.

Satu-satunya gedung yang bisa menampung peserta sidang hanyalah Gedung DPR/MPR. Namun, Presiden tidak mau menggunakannya, karena bisa mengganggu kredibilitas DPR/MPR.

Ada Balai Sidang Senayan Jakarta, tetapi kondisinya tidak memungkinkan digunakan untuk sidang tingkat internasional. Menteri Pekerjaan Umum menyarankan kepada Presiden agar membatalkan sebagai tuan rumah KTT, karena secara teknis tidak mungkin merenovasi Balai Sidang kurang dari setahun.

Oohya! Baca juga ya:

Menyambut Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII, Bahasa Indonesia Diciptakan Memang untuk Menjaga Kebinekaan

Presiden Soeharto lalu memanggil cucu dari Wedana Grobogan itu. Bertanya, sanggup tidak melakukan renovasi Balai Sidang dalamm waktu kurang dari setahun. Saat itu, usia cucu Wedana Grobogan itu baru 41 tahun.

“Sebagai generasi muda yang menggeluti pembangunan gedung dan pergelaran acara, saya merasa mendapat tantangan hebat,” kata cucu Wedana Grobogan itu.

Oohya! Baca juga ya:

MK Tolak Uji Formil UU Cipta Kerja, Kiara Sebut Nasib Masyarakat Pulau Kecil dan Pesisir

Ia pun menyanggupi, dengan syarat diberi dukungan urusan birokrasi. Menurut dia, untuk membuat venue akbar kurang dari setahun, memerlukan dukungan jalan pintas birokrasi.

Dia tahu betul birokrasi di Indonesia saat itu. Dia juga sudah berhitung bahwa proyek ini tidak bisa dilakukan dalam waktu setahun tanpa jalan pintas birokrasi.

Ia harus mengerahkan banyak orang. Jika itu ia lakukan di Amerika, jelas tidak mungkin karena harus berurusan dengan organisasi buruh.

Pengerjaan proyek dalam waktu yang singkat tidak hanya memerlukan kemampuan teknis. Namun juga harus menghadapi birokrasi.

Oohya! Baca juga ya:

Membahas Usulan Nama Lokal untuk Nederlandsch Nieuw Guinea, Belanda Tolak Nama Irian

Tetapi ia percaya kepada Presiden Soeharto. Ia mengenal karakter Presiden, karena bapaknya juga menjadi pembantu Presiden Soeharto.

“Jika Pak Harto memberi tugas, beliau percaya kepada yang diserahi tugas dan selalu akan mendukung keputusannya,” ujar cucu Wedana Grobogan itu.

Mulai 1 September 1992, Balai Sidang Senayan yang telah memiliki wajah baru dan bernama JHCC itu digunakan untuk KTT Non-Blok.

Di kemudian hari, Bambang Trihatmodjo, anak Presiden Soeharto, memberi tahu cucu Wedana Grobogan itu, jika Presiden suka menyebutnya sebagai “Bandung Bondowoso Abad Ini”. Ke semua orang selalu membanggakan cucu Wedan Grobogan itu dengan julukan itu.

Oohya! Baca juga ya:

Papua Selatan, Mengapa tidak Memakai Nama Irian Selatan yang Memiliki Makna Bagus dalam Bahasa Marind?

“Pak Harto mengatakan, ‘Balai Sidang itu Pontjo, bukan Ibnu Sutowo’,” kata Bambang memberi tahu Pontjo Sutowo. Ibnu Sutowo adalah pembantu Presiden Soeharto, ayah Pontjo Sutowo yang pernah menjadi dirut Pertamina pertama.

Ibnu Sutowo lahir pada 1914 sebagai anak dari Wedana Grobogan. Pontjo Sutowo lahir pada 1950 sebagai anak dari Ibnu Sutowo.

Pontjolah yang disebut Soeharto sebagai Bandung Bondowoso, tokoh legenda Jawa yang dalam semalam membangun 1.000 candi. Pontjo dalam setahun menyeleaikan proyek renovasi Balai Sidang.

Luas JHCC mencapai 400 meter persegi. Lokasinya tidak jauh dari lokasi Hotel Hilton Senayan, saat itu. Sekarang namanya menjadi Balai Sidang Jakarta (Jakarta Convention Center).

Hotel Hilton merupakan hotel milik cucu Wedana Grobogan itu. Kerja sama dengan jaringan Hilton selesai, nama hotel diubah menjadi Hotel Sultan. Kini pemerintah meminta kembali Hotel Sultan, karena dibangun di atas tanah milik negara.

Hotel Hilton Senayan dibangun untuk kepentingan konferensi parisiwasa internasional. Gubernur Jakarta Ali Sadikin meminta bantuan Pertamina.

Oohya! Baca juga ya:

Memperingati Maulid Nabi Muhammad di Istana Negara, Ini yang Dikatakan Presiden Sukarno Soal Papua

Pertamina saat itu dipimpin Ibnu Sutowo. Hotel kemudian dibangun oleh PT Indobuild Co pada 1973 dan selesai pada 1976 dengan hak menggunakan lahan selama 30 tahun.

Mungkinkah suatu saat nanti, pemerintah juga akan meminta kembali gedung-gedung yang dibangun di Ibu Kota Nusantara? Pengusaha yang membangunnya diberi hak penggunaan lahan hingga 190 tahun.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
De Locomotief, 5 Agustus 1910
“Bandung Bondowoso Abad Ini” karya Pontjo Sutowo dalam Pak Harto the Untold Stories (2012)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam