Egek

Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal Desak Pemerintah Akui Praktik Konservasi yang Dilakukan Masyarakat

Masyarakat adat dan komunitas lokal yang tergabung dalam Jaringan Pemangku Hak Areal Konservasi Kelola Masyarakat (JPH AKKM) meminta pemerintah mengakui konservasi yang dilakukan masyarakat.

Masyarakat adat dan komunitas lokal yang tergabung dalam Jaringan Pemangku Hak Areal Konservasi Kelola Masyarakat (JPH AKKM) mendeklarasikan diri. Deklarasi dilakukan pada Selasa (17/10/2023) di Konferensi Tenurial 2023 yang diadakan di Gedung Serbaguna Senayan, Jakarta.

JPH AKKM adalah gabungan komunitas pemangku hak dari kawasan-kawasan yang dilestarikan melalui nilai-nilai kearifan lokal. Naomi Marasian, Dolvina Damus, dan Rukmini Toheke yang mewakili JPH AKKM menegaskan, pemerintah harus mengakui praktik konservasi yang dilakukan oleh masyarakat.

“Masyarakat adalah aktor utama konservasi,” tegas ketiga perempuan adat itu dalam pernyataannya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Selama 80 Tahun Grobogan Dipimpin oleh Bupati dari Dinasti Mertohadinegoro, Ini Jadi Contoh Dinasti Politik

Para pemangku hak memiliki kesamaan gagasan untuk membentuk sebuah wadah yang mampu merespons persoalan pendekatan dan penyelenggaraan konservasi yang tidak mengakar pada kebudayaan. Apalagi jika penyelenggaran konservasi itu mengabaikan hak-hak masyarakat, seperti yang telah sering terjadi selama ini.

Working Group ICCAs Indonesia(WGII) bersama Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal telah mengidentifikasi potensi Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM). Berapa luasan yang telah diidentifikasi dalam 10 tahun terakhir?

Luasannya lebih dari 4,2 juta hektare. Angka registrasi di platform iccas.or.id mencapai 492,222 hektare.

Oohya! Baca juga ya: Kisruh Batas Usia Capres-Cawapres, Bagaimana Panitia Perancang UUD Dulu Membahas Syarat Capres-Cawapres?

Capaian ini sesungguhnya masih sangat kecil dibanding dengan potensi AKKM yang ada. Angka registrasi wilayah adat di BRWA telah mencapai 26,9 juta hektare.

Pokok-pokok yang disampaikan dalam deklarasi JPH AKKM:

1. Masyarakat adat dan komunitas lokal adalah subyek utama pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Sehingga pemerintah berkewajiban melibatkan masyarakat adat dan komunitas lokal secara penuh dan efektif dalam pembentukan dan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia.

2. Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) yang dijaga dan dikelola oleh masyarakat adat dan komunitas lokal merupakan bagian penting dalam tata kelola kawasan konservasi daratan dan perairan yang inklusif dan berkeadilan.

Oohya! Baca juga ya: Kartosoewirjo Ikut Kongres Pemuda Indonesia Kedua tetapi Bukan Dia yang Bertikai dengan Muh Yamin, Lalu Siapa?

3. AKKM merupakan praktik konservasi berbasis budaya dan pengetahuan tradisional yang telah terbukti dan oleh karenanya pemerintah wajib memenuhi perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.

4. Penyusunan kebijakan konservasi sumber daya alam yang sedang dalam proses maupun di masa depan perlu mengubah model dan paradigma konservasi yang terpusat pada negara menjadi konservasi yang berbasis HAM, yakni menghormati dan menghargai hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam menjaga dan melindungi hutan, pesisir, laut dan sumber daya alam lainnya.

5. Mengajak para Pemangku Hak AKKM yang tersebar di seluruh Indonesia untuk bergabung dan memperkuat JPH-AKKM ini, serta terus menjaga areal konservasi dan ruang hidup untuk generasi saat ini dan yang akan datang

Koordinator WGII Kasmita Widodo menyampaikan, pemerintah telah menetapkan seluas 27,4 juta hektare kawasan hutan sebagai kawasan konservasi. Namun, kata Kasmita, tapi itu bukanlah ruang kosong.

Menurut Kasmita, sebagian wilayah konservasi tersebut merupakan ruang hidup bagi masyarakat adat dan komunitas lokal. Mereka memiliki sejarah, kebudayaan, dan hubungan manusia dengan nalam yang tidak dapat dipisahkan.

“Pemerintah masih meragukan bahwa masyarakat adat mampu menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati di Indonesia,” ujar Kasmita. Untuk menjawab keraguan itu, diperlukan pendokumentasian praktik-praktik konservasi yang dilakukan masyarakat.

Oohya! Baca juga ya: Panas Terik, Para Murid SD di Sumba Timur Ini Harus Berjalan Kaki 20-30 Menit tanpa Payung Naik Turun Bukit

Rukmini Toheke, masyarakat adat Ngata Toro dari Sulawesi Tengah menjelaskan, leluhur mereka telah mewariskan tata kelola yang arif dan adil bagi seluruh makhluk. “Sejak dulu leluhur berpesan bahwa wana ngkiki tidak boleh dikelola oleh siapa pun” kata Rukmini.

Alasannya sederhana. “Di sana ada sumber mata air dan tempat hidup berbagai hewan, lalu ada wana yaitu hutan rimba yang hanya boleh diambil rotan, madu, dan rompi (parfum alami dari material non-kayu),” kata Rukmini.

Dolvina Damus, masyarakat adat Dayak Lundayeh Mentarang di Kalimantan Utara menambahkan, hutan merupakan rumah bagi masyarakat adat Dayak. “Kami tidak mungkin merusak rumah kami sendiri. Jika tidak ada kami tidak mungkin ada Taman Nasional Kayan Mentarang yang seluas 1,3 juta hektare itu,” kata Dolvina.

Oohya! Baca juga ya: Menjadi Santri di Grobogan, Santri Ki Ageng Selo Ini di Kemudian Hari Sukses Menjadi Sultan

Manajer Program WGII Cindy Julianty menyinggung soal tata kelola sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat adat dan komunitas lokal. Mereka melakukannya dengan berbasis budaya.

“Terbukti jauh lebih efektif daripada konservasi yang diintrodusir oleh negara. Sebanyak 70 persen tutupan lahan di wilayah adat merupakan hutan dengan kondisi baik,” kata Cindy.

Cindy menjelaskan, hasil analisis bersama antara Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), WGII, dan Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan, 72 persen wilayah adat merupakan ekosistem penting. Di sana ada mangrove, gambut, karst, dan lain-lain. “Sampai saat ini dijaga dan dilindungi oleh masyarakat adat,” kata Cindy.

Heri Yogaswara dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang hadir sebagai penanggap menegaskan, “Kajian mengenai praktik AKKM harus dimasukkan ke dalam dokumen usulan hutan adat. Ini akan memperkuat pengakuan masyarakat adat dan hutan adatnya.”

Ma Roejan

Berita Terkait

Image

Lorentz Ikut Ritual Dayak Sentuh Telur Sebelum ke Puncak Carstensz, untuk Apa?

Image

Ikut Buktikan Salju Puncak Carstensz, 2 Orang Dayak Tewas

Image

UGM dan Paiton Energy Kembangkan Hutan Energi, Kelompok Tani Dapat Apa?