Prabowo Sebut Food Estate Ada di Zaman Sukarno, Bagaimana Bentuknya Sehingga Sukarno Harus Bahas Kebutuhan Kalori dan Pangan Rakyat?
Akhir Januari lalu Prabowo Subianto menyebut program food estate itu pemikiran Sukarno. Bahkan ada sejak zaman penjajahan Belanda, sebagai strategi untuk meningkatkan produksi pangan.
Lalu makan siang gratis yang dilontarkan Prabowo itu pemikiran siapa? Mengapa ketika menjanjikan program makan siang gratis, Prabowo tidak pernah menyinggung kebutuhan kalori orang Indonesia?
Ketika Sukarno membahas pangan rakyat, hanya ada satu juta hektare lahan baru yang memenuhi syarat dijadikan lahan pertanian. Lalu, Sukarno bicara soal kebutuhan kalori orang Indonesia dan kebutuhan pangan rakyat.
Oohya! Baca juga ya:
Bupati Grobogan: Jika Raja tidak Jujur, tidak akan Selamat dalam Peperangan
Menurut Sukarno, kebutuhan kalori orang Indonesia saat itu hanya 1.700 kalori. Dengan kebutuhan itu Indonesia masih kekurangan 700 ribu ton beras setiap tahunnya. Sukarno pun bertanya, bagaimana jika kebutuhan kalori ditingkatkan menjadi 2.250 kalori?
Menurut Permenkes No 28 tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi, kebutuhan kalori orang Indonesia hanya 2.100 kalori per hari. Angka ini di bawah angka yang disarankan oleh Panitia Negara Perbaikan Makanan kepada Presien Sukarno pada 1950-an, yaitu 2.250 kalori.
Kebutuhan 2.100 kalori itu pun ternyata, menurut data BPS per Maret 2023 juga belum terpenuhi. Pemenuhan kebutuhan kalori orang Indonesia baru 2.087 kalor per Maret 2023 itu.
Dengan kebutuhan kalori 1.700 kalori pada 1950-an, menurut Sukarno, saat itu konsumsi beras orang Indonesia hanya 86 kilogram per orang per tahun. Konsumsi jadung hanya 38 kilogram, konsumsi ubi kayu 162 kilogram, konsumsi ubi jalar 30 kilogram.
“Sudahkah kita senang dengan 1.700 kalori seorang sehari sebagai dalam tahun 1940 itu?” tanya Sukarno.
Oohya! Baca juga ya:
Adipati Pati Tipu Bupati Grobogan, Amangkurat V pun Dinobatkan Lagi Sebagai Raja di Pati
Panitia Negara Perbaikan Pangan menyarankan pemenuhan kebutuhan kalori oang Indonesia mencapai 1.850 kalori. Kemudian perlu ditingkatkan lagi menjadi 2.250 kalori di kemudian hari.
Atas saran itu, Sukarno pun membuat perhitungan.Jika pada 1960 penduduk Indonesia mencapai 83 juta jiwa, berapap kebutuhan beras nasional?
Pada 1952, jumlah penduduk Indonesia ada 75 juta jiwa. Maka, kebutuhan beras saat itu ada 6,45 juta ton.
Produksi beras hanya 5,5 juta ton per tahun. Jadi, ada kekurangan beras mencapai satu juta ton, yang ditutupi dengan impor beras.
Maka, ketika penduduk menjadi 83 juta ton pada 1960, ada delapan juta jiwa penduduk yang juga memerlukan beras. Kebutuhan mereka mencapai 1,5 juta ton. Jika produksi beras dalam negeri tidak ditingkatan, maka harus impor beras 2,5 juta ton.
“Kalau kita mengingini bangsa kita dalam tahun 1960 makan 2.250 kalori seorang sehari, maka produksi makanan kita harus kita tambah dengan 6,3 juta ton setahun, dalam bentuk beras atau ekuivalennya beras,” ujar Sukarno pada saat peletakan batu pertama Gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia, 27 April 1952.
Oohya! Baca juga ya:
Jual Sepeda Motor Kredit, Ketua RT Ini Masuk Penjara
Bagaimana meningkatkan produksi beras? Menurut Sukarno harus bekerja keras memperluas daerah pertanian.
Tapi Sukarno terhalang kondisi tanah di Indonesia. Tanah yang akan dijadikan perluasan lahan pertanian itu telah dipetakan dan harus membuka hutan belantara.
“Ternyata, sebagian besar dari tanah-tanah itu, dengan pandangan selayang pandang saja, terang tidak memberi harapan baik buat pertanian,” kata Sukarno.
Di Sumatra ada 5,3 juta hectare, di Kalimantan ada 740 ribu hektare, di Sulawesi ada 669 ribu hektare, di Papua ada 965 ribu hektare. Totalnya ada 7,7 juta hektare.
Tapi, kata Sukarno, kualitas tanah, bentuk topografi, keadaan hidrologinya tidak sesuai dengan syarat-syarat pertanian. “Yang betul-betul baik ternayat hanyalah sedikit dari satu juta hektare,” ungkap Sukarno.
Oohya! Baca juga ya:
Grobogan Banjir, Desember 1955 Ada Pemilu, Mengapa Residen Semarang Kirim Perahu Motor?
Sukarno juga melirik lahan gambut yang jumlahnya berjuta-juat hektare. Belum dilirik untuk dijadikan sebagai lahan pertanian, tetapi di masa depan mungkin bisa diupayakan sebagai lahan pertanian.
Ia menyebut lahan gambut di Amerika dan Eropa sudah dijadikan sebagai lahan pertanian dengan hasil yang baik. namun untuk Indonesia, kata Sukarno, Sama sekali belum diselidiki kemungkinan-kemungkinannya.
Lalu, jika lahan satu juta hektare itu sudah dibuka, siapa yang akan mengerjakannya? Lahan itu, menurut Sukarno cocok ditanami padi dengan potensi panen mencapai 600 ribu ton beras.
Para petani, menurut Sukarno, harus dibangunan perhatiannya pada satu juta hektare lahan potensial ini. Para penyuluh dengan demontrasi-demontrasi harus mendampingi para petani.
Sukarno jelas menyebut para petani yang harus mengelola lahan baru itu. Bukan perusahaan.
Lantas, apakah Prabowo Subianto sudah menyelidiki kondisi lahan di Kalimantan Tengah itu, sehingga ada 10 ribu hectare lahan yang sudah dibuka lalu ditanami jagung menggunakan polybag?
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
“Soal Hidup atau Mati”, Pidato Presiden Sukarno pada peletakan batu pertama Gedung Fakultas Universitas Indonesia di Bogor pada 27 April 1952.
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]