Sekapur Sirih

Ramai Pajak Hiburan 40-70 Persen, Diponegoro Menghukum Cambuk Pemungut Pajak

Pemerintah menaikkan pajak hiburan menjadi 40-70 persen. Para pengusaha keberatan. Diponegoro juga pernah keberatan atas pemungutan pajak dan pernah menghukum cambuk pemungut pajak.

Pemerintah menaikkan pajak hiburan. Usaha hiburan akan dipungut pajak hiburan minimal 40 persen dan maksimal 70 persen.

Jumlah itu jauh lebih besar dari sebelumnya yang hanya 15 persen. Pengusaha hiburan pun mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Bagaimana pemungutan pajak di masa penjajahan? Diponegoro pernah memberi hukuman cambuk kepada pemungut pajak.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Film Siksa Neraka Ditolak Malaysia, Film Tiga Dara Dulu Sukses di Malaysia

Di zaman Kartini menjadi istri bupati Rembang, Kartini menyaksikan ada banyak pajak yang ditetapkan oleh pemerintah koloial. Pemotong rumput yang penghasilanya hanya 10-12 sen saja juga dipungut pajak penghasilan.

Meski para pengusaha keberatan,Menparekraf Sandiaga Uno menegaskan jika kenaikan pajak hiburan ini tidak akan mematikan industri pariwisata. "Pajak hiburan ini perlu lebih kita sosialisasikan, tetapi tidak akan mematikan (usaha sektor pariwisata)," ujar Sandiaga (republika.co.id, 10/1/2024).

Di Keraton Yogyakarta, Diponegoro juga pernah tidak sepakat dengan pemungutan pajak yang ditetapkan Keraton Yogyakarta bersama Residen Yogyakarta. Tapi, saran-saran yang ia berikan kepada Sultan Hamengkubuwono IV tidak mendapat perhatian.

Suatu ketika, Keraton melakukan upaya pengoptimalan pajak dengan mengangkat petugas pajak baru yang lumayan banyak. Jumlahnya mencapai 40 orang.

Mereka di bawah koordinasi Patih Danurejo dan Tumenggung Wironegoro (komandan pasukan keraton). Danurejo dan Wironegoro dikenal sangat patuh kepada Residen Yogyakarta.

Para pemungut pajak itu akan mendapat bayaran 60 gulden per orang. Danurejo dan Wironegoro, masing-masing mendapat 150 gulden.

Diponegoro mendapat keluhan dari para pangeran dan bupati karena tidak pernah diajak bicara. Pemungutan pajak secara massif itu tentu akan memberatkan rakyat.

Oohya! Baca juga ya: Tahun-Tahun Kekalahan Diponegoro dari Belanda

Diponegoro pun menyampaikan keluhan itu kepada Hamengkubuwono IV. Ia juga mendesak Hamengkubuwono IV untuk membatalkannya.

“Ini semuanya adalah ide Patih Danurejo dan Wironegoro. Mereka tidak mempunyai cukup orang untuk disuruh memungut pajak,” jawab Hamengkubuwono IV, tidak berkutik.

Kata hamengkubuwono IV, Danurejo dan Wironegoro melaporkan sudah membicarakannya dengan para pangeran dan bupati. Berarti Danurejo dan Wironegoro telah membohongi Hamengkubuwono IV, karena para pangeran dan bupati mengadu kepada Diponegoro.

Karenanya, Diponegoro memilih jalan sendiri. Ia meringankan beban pajak rakyat yang berada di bawah kepemimpinannya sebagai pangeran.

Rakyat itu adalah penduduk desa yang bekerja menggarap lahan milik Diponegoro di Tegalrejo. Mereka di kemudian hari menjadi pendukung utama Diponegoro selama perang berlangsung sejak 1825 hingga 1830.

Selama perang, Diponegoro memisahkan urusan pajak dengan urusan perang. Maka ia tidak memberi izin tentaranya memungut pajak, karena pemungutan pajak adalah urusan patih.

Tapi, ketika patih mengalami kendala memungut pajak, sehingga pasokan perbekalan tentara mengalami gangguan, Ali Basah Sentot Prawirodirjo meminta izin diperbolehkan memungut pajak.

Oohya! Baca juga ya: Diponegoro Terserang Malaria, Pindah-Pindah Gubuk Selama Tiga Bulan Bersembunyi di Hutan Hanya Ditemani Dua Punakawan

Semula Diponegoro ingin menolaknya, tetapi para penasihatnay menganjrkan agar mengabulkan. Alasannya, jika prajurit memungut pajak maka masalah kesulitan memungut pajak akan teratasi sehingga pasokan perbekalan tidak seret.

Maka, Sentot pun diizinkan memungut pajak sejak Januari 1829. Namun pada Juni 1829 ketahuan ada pemungut pajak yang memungut lebih tinggi dari nilai seharusnya.

Maka, Diponegoro pun memberikan hukuman kepada pemungut pajak itu dengan mencambuknya di depan umum. Diponegoro menjadi contoh bahwa pemungutan pajak tidak boleh menyengsarakan rakyat.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- 100 Tahun Wafatnya Pahlawan Diponegoro 8 Januari 1855 – 8 Januari 1955 karya Kementrian Penerangan RI (1955)
- Kuasa Ramalan karya Peter Carey (2012)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Siapa Pakualam, Pangeran Yogyakarta yang Mendapat Hadiah Tanah di Grobogan dari Raffles?

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam