Lincak

Sumpah Pemuda, Perempuan, dan Bahasa Indonesia

Tujuh anggota Komisi Pertimbangan Istilah Sidang Komisi Istilah II (2023) berpose bersama sebelum melakukan sidang. Empat di antaranya adalah perempuan. Pada Kongres Pemuda Indonesia II, ada dua perempuan yang menggunakan bahasa Belanda karena belum paham bahasa Indonesia. Sumber:dokumentasi priyantono oemar

Kongres Pemuda Indonesia II telah menggunakan bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda yang dihasilkannya pun menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Tapi, masih saja ada yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dari kalangan perempuan, seperti Nona Sitisoendari. “Nona Sitisoendari sebab tidak paham basa Indonesia, telah berbicara dalam basa Belanda,” tulis koran Darmokondo.

Sebelum Nona Sitisoendari berbicara, terlebih dulu ada Kartosuwiryo yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia merupakan tali perhimpunan-perhimpunan pemuda. Pada awal 1926, perhimpunan-perhimpunan pemuda mendapat kritik dari Nona Nrs.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Di koran Hindia Baroe, Februari 1926, Nona Nrs menyeru, “Ingatlah! Kalau saudara-saudara cinta kepada bangsa Indonesia, cintailah bahasa Indonesia. Sifat kebelandaan itu gantilah dengan sifat keindonesiaan.”

Nona Nrs rupanya geram dengan para pemuda di perhimpunan-perhimpunan pemuda yang lebih senang menggunakan bahasa Belanda daripada bahasa Indonesia. Masih senang kebelanda-belandaan.

Nona Nrs menulis hal itu memberikan tanggapan kepada M Tabrani yang sebelumnya mencetuskan nama bahasa Indonesia. Ia mendukung ide Tabrani soal bahasa Indonesia yang akan mempercepat terciptanya persatuan Indonesia.

“Pergerakan persatuan anak Indonesia tak begitu keras dan lekas antara lain-lain disebabkan, oleh karena kita tak mempunyai bahasa yang gampang diketahui oleh sekalian bangsa kita Indonesia,” kata Tabrani di Hindia Baroe, Februari 1926.

Bahasa Indonesia yang dimaksud Tabrani adalah bahasa Melayu gampang, Melayu pasar. Tapi ia tak mau menyebutnya sebagai bahasa Melayu.

“Jika kita menyebutnya bahasa itu bahasa Melayu, salahlah kita. Karena sebutan semacam itu seolah-olah dan mesti mengandung sifat imperialisme dari bahasa Melayu terhadap kepada lain-lain bahasa bangsa kita di sini,” kata Tabrani.

Menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, bagi Tabrani akan mengancam yang lain, jadi yang dijadikan bahasa persatuan harus bahasa Indonesia. “Karena jika tak begitu niscayalah bangsa kita yang tak mempunyai bahasa Melayu itu akan merasa terancam dalam bahasanya,” kata Tabrani.

Berita Terkait

Image

Berapa Sekedup Unta yang Bawa Jamaah Haji Indonesia ke Makkah?

Image

Kenapa Baju Calhaj Indonesia Kudu Diasapi di Pulau Kamaran, Yaman?

Image

Banyak Warman Jadi Raja di Indonesia Dulu, Siapa Mereka?