Sumpah Pemuda, Perempuan, dan Bahasa Indonesia
Pada Kongres Pemuda Indonesia I, yang digunakan masih bahasa Belanda. Tapi rancangan Sumpah Pemuda yang dibuat sudah dalam bahasa Indonesia. Perempuan yang berbicara di Kongres Pemuda I adalah Nona Stien Adam.
Tabrani selaku ketua panitia memiliki alasan: Penggunaan bahasa Belanda itu mempermudah pengurusan izin. Saat mengurus perizinan, Tabrani berjanji akan mempermudah kerja polisi membuat laporan dengan menyediakan bahan-bahan pidato dalam bahasa Belanda.
Selain itu, kongres yang menggunakan bahasa Belanda juga mempermudah polisi Belanda menyimak isi pembicaraan. Kendati pada kenyataannya, saat kongres berlangsung, ada orang-orang yang ditugasi mengajak bicara para polisi, sehingga mereka tidak menyimak pembicaraan di kongres.
Di Kongres Pemuda Indonesia II, selain Nona Sitisoendari yang menggunakan bahasa Belanda, ada pula perempuan lain yang menggunakannya. Yaitu Nona Poernamawoelan.
”...karena beliau tidak paham basa Indonesia, begitupun basanya sendiri (Jawa) sebab di Tanah Melayu kurang banyak yang mengerti, maka beliau terpaksa memakai basa Belanda,” tulis Darmokondo.
Kendati bahasa Indonesia telah diikrarkan dalam Sumpah Pemuda sebagai bahasa persatuan, hingga 1939 bahasa Indonesia masih sering diabaikan. Tabrani pun geram.
“Memang bahasa kita oleh kita sendiri kagak dihargain, cuman sekadar buat pidato. Apalagi perkara nama. Kalau ada gadis bernama ‘Soedinah’ lantas panggilannya: ‘Dience’. Kalau ada yang bernama “Karlinah”, panggilannya “Lience. Begitu seterusnya,” tulis Tabrani di Pemandangan, Maret 1939.
Priyantono Oemar