Bukan Hanya Muh Yamin. Agus Salim, Adinegoro, dan Parada Harahap pun Pernah Menolak Bahasa Indonesia
Penolakan terhadap bahasa Indonesia muncul karena dianggap bahasa yang belum ada.
Selain Muh Yamin, ternyata ada H Agus Salim, Adinegoro, dan Parada Harahap yang pernah menolak bahasa Indonesia. Muh Yamin dan Adinegoro menolak di hari terakhir Kongres Pemuda Indonesia Pertama pada 2 Mei 1926, sedanhkan Agus Salim menolak pada Agustus 1938. Ia geram dengan politisi yang memakai bahasa Indonesia sebagai alat pergerakan kebudayaan.
Oohya! Jangan lupa baca juga ini ya: Tabrani Mendapat Penentangan dari Muh Yamin Jong Sumatra dan Juga dari Anggota Jong Java.
Kongres itu, menurut Agus Salim di Soeara Oemoem, sebagai kegiatan terselubung dari “politisi yang kehilangan pijakan”. Kongres ini diprakarsai oleh para wartawan anggota Perdi, tetapi melibatkan politisi seperti Muh Yamin, Amir Sjarifuddin, RP Soeroso, Soekardjo Wirjopranoto. MH Thamrin selaku ketua Fraksi Nasional Volksraad juga mendukungnya, dan menyatakan akan menggunakan bahasa Indonesia di sidang-sidang Volksraad Juli 1938. Agus Salim menilai, bahasa Melayu sudah cukup lama umurnya dan terus hidup di masyarakat. Tapi bahasa Indonesia? Sejak diikrarkan di Kongres Pemuda Indonesia Kedua, keberadaannya tidak dikembangkan.
Kata Agus Salim di Soeara Oemoem 12 Agustus 1938:
Hidoepnja basa bergantoeng pada hidoepnja semangat bangsa jang menggoenakan dia sebagai alat pembentoek dan penggambar paham dan pikirannja, perasaan dan tjita-tjitanja.
Sedangkan Parada Harahap, sejak Kongres Pemuda Indonesia Kedua mengikrarkan “Menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia”, ia tetap enggan menyebut nama bahasa Indonesia. Ketika pada 1938 ada Kongres Bahasa Indonesia Pertama, ia pun masih enggan menyebut nama bahasa Indonesia, melainkan tetap menyebut bahasa Melayu. Alasannya, bahasa Indonesia masih dibuat, belum ada bentuk. Keengganan Parada Harahap mengakui bahasa Indonesia menjadi polemik koran Pemandangan yang dikelola Tabrani dengan Tjaja Timoer yang dikelola Parada.
Oohya! Meski tidak berkaitan, baca juga ini ya, demi haji Indonesia: Tak Ada yang Baru dari Kuota 221 Ribu Jamaah Haji Indonesia, Seharusnya Bisa Minta Kuota Lebih.
Sebelum Tabrani membawa bahasa Indonesia ke Kongres Pemuda Indonesia Pertama, ada G Astrohadikoesoemo yang menolak bahasa Indonesia. Ia melontarkan penolakannya saat menanggapi pandangan Tabrani dan Nrs mengenai bahasa Indonesia di koran Hindia Baroe.
Parada Harahap semakin keras sikapnya setelah Kongres Bahasa Indonesia Pertama, Juni 1938. Ia menyerang habis-habisan RP Soeroso yanag berpidato menggunakan bahasa Indonesia di kongres itu, mewakili koleganya yang tak bisa hadir, Soekardjo Wirjopranoto. Soekardjo seharusnyamenjadi pembicara kongres dengan bahasan bahasa Indonesia di badan perwakilan. Soekardjo dan Soeroso sama-sama anggota Volksraad. Soeroso kemudian juga menjadi salah satu anggota Volksraad yang berpidato menggunakan bahasa Indonesia di sidang Volksraad Juli 1938.
Secara khusus Parada kemudian menguliti RP Soeroso di Tjaja Timoer, dengan mengatakan bahwa penggunaan bahasa Melayu oleh Soeroso di Volksraad justru telah merendahkan martabat Volksraad karena bahasa Melayu yang digunakan adalah bahasa Melayu yang biasa digunakan dalam pertemuan-pertemuan masyarakat biasa. Soeroso dinilai tak menyiapkan pidatonya seperti yang dilakukan oleh Thamrin, sehingga Thamrin menjadi contoh bagus penggunaan bahasa Melayu untuk membahas berbagai persoalan (De Locomotief, 15 Juli 1938).
Dalam persoalan ini, Parada tetap menyebut bahasa yang digunakan anggota Volksraad dari Fraksi Nasional sebagai bahasa Melayu, bukan bahasa Indonesia. Karena bahasa buruk yang dipakai oleh RP Soeroso, Parada lantas menyebut pengunaan bahasa Melayu di Volksraad sebagai aksi demonstrasi, yang kemudian didukung oleh koran-koran Belanda.
Sanusi Pane di Kebangoenan memuji RP Soeroso karena di usianya yang sudah di atas 40 tahun, masih mau belajar bahasa Indonesia. Sanusi menilai, buruknya bahasa Indonesia yang digunakan Soeroso bukanlah persoalan, sebab bahasa Indonesia sedang dikembangkan. Orang-orang Belanda pun dengan bahasa Belanda yang sudah mapan pun masih saja ada yang saling tuduh dalam penggunaan bahasa Belanda yang buruk (Soerabaiasch Handelsblad, 15 Juli 1938).
Sanusi menyetarakan penguasaan bahasa Indonesia Soeroso sama dengan Jahja Datoek Kajo. Sejak pertama kali menjadi anggota Volksraad pada 1927, Jahja Datoek Kajo selalu menggunakan bahasa Indonesia di sidang-sidang Volksraad. “Pak Kajo juga tidak berbicara dalam bahasa Melayu murni, melainkan bahasa Indonesia. Dari sudut pandang Melayu sastra atau Melayu ‘sekolah’, Pak Kajo akan diberi nilai paling tinggi ‘lima’,” ujar Sanusi di Kebangoenan, seperti dikutip Soerabaiasch Handelsblad.
Tentang penyebutan bahasa Melayu oleh Parada, ....