Pitan

Bung Karno Memeluk, Kenapa Jenderal Sudirman Enggan Membalas?

Pada 10 Juli 1949 Jenderal Sudirman didampingi TB Simatupang melapor kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Saat tiba, Bung Karno memeluknya, tetapi Sudirman enggan membalasnya. Mengapa?

Bung Karno dan Bung Hatta yang dibuang ke Sumatra sudah pulang ke Yogyakarta. Panglima Angkatan Perang Jenderal Sudirman belum kembali setelah Yogyakarta dikuasai Republik lagi.

Setelah dijemput Letkol Soeharto, Jenderal Sudirman bersedia pulang ke Yogyakarta. Pada 10 Juli 1949, Jenderal Sudirman memasuki Yogyakarta dan langsung disambut dengan pelukan oleh Bung Karno.

Ketika Bung Karno memeluk, mengapa Jenderal Sudirman terlihat enggan membalas pelukan Bung Karno? Apa karena keberatan mantel Australia yang ia kenakan?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Bakar Benteng Sultan Agung, JP Coen Tewas Tiga Hari Kemudian

Mantel itu cukup tebal, dipakai oleh Jenderal Sudirman yang sangat kurus. Mantel itu sehari-hari dipakai Jenderal Sudirman selama memimpin perang gerilya. Sudirman pulang ke Yogyakarta dengan ditandu.

Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia, TB Simatupang, yang menjemput di Piyungan sudah menyiapkan baju kebesaran Jenderal Sudirman. Namun, Jenderal Sudirman memilih untuk tidak mengenakan seragam Angkatan Perang.

“Beliau tetap mengenakan pakaian yang asal, dengan mantel Australia paling luar. Badan beliau kurus. Tetapi dengan mengenakan mantel yang tebal itu kelihatan gemuk. Mantel itu berat sekali,” kata Soeharto.

Dari Piyungan, Sudirman ke Yogyakarta dengan naik Jeep. Rakyat menyambutnya di sepanjang jalan.

Jenderal Sudirman di Karangmojo, sebelum pulang ke Yogyakarta. Tiba di Yogyakarta pada 10 Juli 1949, Bung Karno langsung memeluknya. Mengapa ia enggan memlabas pelukan Bung Karno?

Oohya! Baca juga ya:

Yang Dilakukan Bung Karno Begitu Tahu akan Ditembak Mati Belanda

Letkol Soeharto menjemput Jenderal Sudirman di Karangmojo atas perintah Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sudirman kondisinya sudah sangat lemah dan badannya kurus, tetapi kekurusannya tertutupi oleh mantel Australia yang tebal.

Jenderal Sudirman dilantik menjadi Panglima Angkatan Perang (sekarang: TNI) pada 18 Desember 1948. Sehari kemudian Belanda menyerbu Yogyakarta, dan Jenderal Sudirman pun meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin perang gerilya.

Pada mulanya, Jenderal Sudirman tak bersedia diajak Soeharto pulang ke Yogyakarta. Sebelumnya, ia telah dua kali menolak panggilan Bung Karno untuk pulang. Ketika pulang dan Bung Karno memeluk, Jenderal Sudirman enggan membalas pelukannya.

Jenderal Sudirman masih memiliki pemikiran untuk melanjutkan perjuangan gerilya melawan Belanda. “Pak Dirman mengeluarkan isi hatinya kepada saya dan mempertanyakan apa pengaruhnya terhadap perjuangan kalau beliau turun ke Yogya, sementara anak buah masih banyak yang di luar,” ujar Soeharto.

Kepada Jenderal Sudirman, Soeharto mengatakan bahwa Yogyakarta sudah menjadi ibu kota Republik Indonesia lagi. “Dengan itu berarti, kembalinya Yogya kepada kita harus kita gunakan untuk konsolidasi perjuangan kita, sampai Belanda benar-benar pergi dari bumi Indonesia,” jawab Soeharto.

Oohya! Baca juga ya:

OPM, Organisasi Papua Merdeka Vs Organisasi Papua Money

Tiba di Yogyakarta, Jenderal Sudirman sebenarnya ingin bertemu langsung dengan pasukan yang sudah siap di alun-alun. Namun, ia segera membatalkannya, khawatir muncul pandangan ada pertentangan antaranya dirinya dan Presiden Sukarno.

Tentu tak elok jika pertentangan antara Panglima Angkatan Perang dan Presdien diketahui publik. Maka, Jenderal Sudirman memilih melapor ke Presiden di istana terlebih dulu.

Begitu turun dari Jeep, Jenderal Susdirman langsung disambut Bung Karno dengan pelukan. Awalnya, Jenderal Sudirman enggan membalas pelukan itu.

Foto dokumentasi yang ada dalam buku-buku sejarah, tangan Jenderal Sudirman masih menggantung, belum membalas pelukan. “Tetapi barangkali dipandangnya tidak baik bila menolak, dipandangnya perlu dilakukan, sekalipun untuk sandiwara, untuk tampak ke luar,” ujar Soeharto mengenai balasan pelukan dari Jenderal Sudirman.

Tiba di Yogyakarta, Bung Karno memeluk Jenderal Sudirman. Tapi Jenderal Sudirman terlihat enggan membalas pelukan Bung Karno. Kenapa?

Oohya! Baca juga ya:

Setelah Soetomo Bertemu Wahidin Lahirlah Budi Utomo, Hari Kebangkitan Nasional

Sebelum memulai perang gerilya, Jenderal Sudirman empat marah kepada Bung Karno yang menolak ajakan berperang. Jenderal Sudirman memilih jalan perang, Bung Karno memilih jalan diplomasi.

Menurut Kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang, sebelum memulai perang, ramai diperdebatkan cara mengusir Belanda. Efektif dengan perang atau dengan diplomasi?

TB Simatupang mendapatkan jawabannya pada 10 Juli 1949. Saat itu ia mendampingi Jenderal Sudirman menemui Bung Karno dan Bung Hatta.

TB Simatupang duduk di samping Jenderal Sudirman. Di hadapannya ada Presiden Sukarno, yang memeluk Jenderal Sudirman saat menyambut kedatangannya, dan Wakil Presiden M Hatta.

“Jalan politik dan diplomasi yang dilambangkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta jelas telah menemui kegagalan pada tanggal 19 Desember 1948,” kata TB Simatupang.

Sejak 19 Desember 1948 itu, penyelesaiannya telah diserahkan kepada kekerasan senjata. Maka, Jenderal Sudirman pun memilih keluar Yogyakata agar tidak ikut ditangkap oleh Belanda.

Oohya! Baca juga ya:

Garang Asem Masakan Tradisional Kesukaan Sunan Kalijaga

Jenderal Sudirman lalu memimpin perang gerilya. “Jalan kekerasan itu belum berhasil untuk mengusir Belanda. Diplomasilah yang telah memungkinkan pertemuan sekarang ini diadakan di Yogyakarta,” kata TB Simatupang.

“Akan tetapi diplomasi itu tentulah tidak akan berdaya apa-apa tanpa adanya perang rakyat,” lanjut TB Simatupang.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
- Dari Proklamasi ke Perang Kemerdekaan, karya Soejitno Hardjosoediro (1987)
- Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, karya Ramadhan KH (1989)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]