Yang Dilakukan Bung Karno Begitu Tahu akan Ditembak Mati Belanda
Tangisan Bung Karno di pangkuan ibunya setelah memulangkan anak Tjokroaminoto, tidak seberapa. Masih kalah jauh dengan tangisan Karno dan istrinya saat tahu Bung Karno akan ditembak mati Belanda.
Karno mengangis tersedu-sedu bersama istrinya. Hari itu Bung Karno sudah ditahan di sebuah rumah di Brastagi, Sumatra.
Istri Karno, Musiah, sedang memasak serundeng ketika tentara Belanda masuk ke dapur. Mengetahui serundeng itu untuk Bung Karno, tentara itu berkata, “Heh, buat apa engkau membikin serundeng untuk Sukarno? Apakah engkau tidak tahu bahwa Sukarno besok pagi akan ditembak mati?” kata tentara Belanda itu.
Oohya! Baca juga ya:
OPM, Organisasi Papua Merdeka Vs Organisasi Papua Money
Setelah mendengar itu, Masiah lalu menemui Bung Karno. Lalu memeluk lutut Bung Karno dan menangis tersedu-sedu.
“Kena apa engkau berdua menangis tersewdu-sedu sambil memeluk-meluk lututku?” tanya Bung Karno.
Masih pun lalu menceritakan kejadian di dapur saat ia didatangi tentar aBelanda. Tentara Belanda itu sedang menunggu perintah resmi dari Medan untuk menghukum mati Bung Karno.
“Besok pagi Sukarno akan kami tembak mati,” kata tentara Belanda itu.
Bung Karno ditahan di Brastagi setelah Belanda merebut Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Pada 22 Desember 1948, Bung Karno diterbangkan k eMedan dengan pesawat B25.
Oohya! Baca juga ya:
Setelah Soetomo Bertemu Wahidin Lahirlah Budi Utomo, Hari Kebangkitan Nasional
Dari Medan ia kemudian dibawa ke Brastagi. Sebuah rumah yang dikelilingi pagar kawat berduri disiapkan untuknya.
Di rumah itu ada dua suami istri yang ditugaskan untuk menyiapkan makanan untuk Bung Karno dan kawan-kawan. Nama suami istri itu Karno dan Musiah.
“Yang laki namanya seperti nama saya,” kata Bung Karno. “Karno dan Musiah adalah orang-orang yang datangnya, atau asalnya dari Pacitan,” lanjut Bung Karno.
“Saudara-saudara bisa menggambarkan bagaimana keadaanku pada saat itu. Dikatakan oleh Musiah dan Karno bahwa besok pagi aku akan ditembak mati,” kata Bung Karno.
Bung Karno lalu berdoa. “Ya Allah ya Robi, kalau memang itu telah dikehendaki oleh Tuhan, yah apa boleh buat.”
Ia ingin menenangkan hati agar siap ditembak mati Belanda, jika memang takdirnya demikian. Bung Karno kemudian mengambil air wudlu.
Oohya! Baca juga ya:
Panglima Perang Diponegoro Meracuni Penginjil Belanda di Tondano, Benarkah?
“Sesudah sembahyang, aku mengambil kitab Quran, Quran yang aku bawa dari Yogyakarta,” kata Bung Karno.
Sebelum membuka Alquran itu, Bung Karno berharap dibukakan pada halaman yang memberikan petunjuk untuk mengatasi masalah yang sedang ia hadapi. Barulah ia membukanya.
Ia baca terjemahnya. Quran itu dilengkapi terjemahan dalam bahasa Belanda.
“Waarom zult gij den mes geloven waar ik kenner ben van alle dingen...,” kata Bung Karno membaca ayat di halaman yang ia buka.
Artinya: Kenapa engkau percaya omongan manusia? Aku inilah yang Maha Mengetahui.
Oohya! Baca juga ya:
Bukan ke Mataram Sultan Agung, Orang India Pasok Emas dari Barus ke Jawa kepada Mataram Siapa?
Setelah membaca ayat itu, Bung Karno mengaku tiak gentar lagi. Tegak lagi jiwanya.
Ia membatin, boleh saja tentara Belanda itu berkata Bung Karno akan ditembak mati. tapi bisa saja rencana itu urung, karena Allah mempunyai kehendak lain.
“Saudara-saudara, Saudara melihat bahwa keesokan harinya saya tidak ditembak mati dan sampai sekarang, pada mala mini, bukan tahun 1948, tetapi tahun 1961, Alhamdulillan Sukarno masih hidup. Sukarno malahan berdiri di hadapan saudara-saudara,” kata Bung Karno pada Peringatan Nuzulul Quran di Istana Negara pada 6 Maret 1961.
Kejadian di Brastagi itu, kata Bung Karno, semakin mempertebal keyakinannya kepada Allah dan Nabi Muhammad dengan mukjizat Alqurannya. Dengan keyakinan itulah, ia merasa apa yang telah direncanakan makhluknya, seperti dirinya yang akan ditembak mati Belanda, bisa saja tidak terlaksana jika Allah memiliki kehendak lain.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Bung Karno Mentjari dan Menemukan Tuhan, karya HA Notosoetardjo (1964, cetakan ketiga)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]