Bakar Benteng Sultan Agung, JP Coen Tewas Tiga Hari Kemudian
Pasukan Sultan Agung sudah membangun tenda-tenda di sekitar Batavia. Mereka membuat benteng pertahanan yang tak terjangkau oleh tembakan meriam Kompeni.
Pada 17 September 1829, Gubernur Jenderal Kompeni JP Coen menginspeksi benteng pertahanan yang dibuat dari kayu dan bambu itu. Setelah itu membakarnya.
Tapi tiga hari kemudian, Gubernur Jenderal JP Coen tewas. Sehari sesudahnya, pasukan Sultan Agung untuk pertama kalinya bisa menembakkan meriam.
Oohya! Baca juga ya:
Garam Asem Masakan Tradisional Kesukaan Sunan Kalijaga
Kehilangan benteng pertahanan, tak membuat pasukan Sultan Agung patah arang. Pada saat JP membakar benteng pertahanan, mereka sedang menenpatkan meriam-meriam.
Posisi meriam diperkirakan memiliki jarak tembakan yang dapat menjangkau tembok Batavia. Pasukan Sultan Agung berangkat pada Mei 1829 dan 20 Juni 1829.
Pada Juli 1829 pasukan Sultan Agung sudah mencapai Ciliwung. Mereka membuat kemah-kemah jauh di luar Batavia.
Pelan-pelan mereka mendekati Batavia. Mereka membuat parit perlindungan dan benteng pertahanan dari kayu dan bambu.
Oohya! Baca juga ya:
Yang Dilakukan Bung Karno Begitu Tahu akan Ditembak Mati Belanda
Parit dan benteng itu dibuat di posisi yang tak dapat dijangkau oleh tembakan meriam Konpeni. Pada 8 September 1829, pasukan Sultan Agung sudah mendekati benteng Hollandia di sebelah selatan Batavia.
Mereka membakar perkebunan dan gereja. Tapi, Kompeni berhasil merusak parit-parit perlindungan yang dibuat pasukan Sultan Agung.
Pada 12 September 1829 pasukan Sultan Agung menyerbu benteng Bommel. Namun pasukan Kompeni berhasil memukul mundur mereka.
Pasukan Kompeni menyergap pasukan Sultan Agung pada 17 September 1829. Penyergapan itu dilakukan setelah Gubernur Jenderal JP Coen melakukan inspeksi terhadap benteng pertahanan pasukan Sultan Agung.
Pada penyerbuan 1829 ini Sultan Agung kalah lagi, seperti halnya pada penyerbuan 1828. Boleh saja Sultan Agung kalah dalam perang melawan Kompeni, namun patut diakui, perang itu telah membuat Gubernur Jenderal Kompeni JP Coen kalah.
Ia tewas sebelum berhasil mengusir pasukan Sultan Agung. Gubernur Jenderal itu jatuh sakit setelah pembakaran benteng pasukan Sultan Agung.
Oohya! Baca juga ya:
Kenapa Bung Karno Ceraikan Anak Tjokoraminoto, Istri Pertamanya?
“Pada tanggal 20 September 1829 mendadak sakit parah dan akhirnya meninggal,” kata L van Rijckevorsel, direktur Normaalschool Ambarawa.
Serbuan pasukan Sultan Agung pada 1829 itu membuat gubernur jenderal itu tidak mendapatkan perawatan memadai. Kendati Batavia telah ditinggal pergi JP Coen, Sultan Agung tetap tidak bisa menaklukkannya.
Pasukannya kehabisan perbekalan. Pasukan pertama Sultan Agung berangkat dari Ukur, dipimpin oleh Dipati Ukur pada Mei 1829.
Dari Mataram, pasukan dipimpin oleh Penambahan Juminah pada Juni 1829. Tapi sebelum pasukan Sultan Agung itu tiba di Batavia, rencana penyerbuan itu telah sampai di telinga JP Coen pada 20 Juni 1829, saat Panembahan Juminah berangkat dari Mataram.
Gubernur Jenderal JP Coen pun mengirim tiga kapal ke Tegal. Tegal diinformasikan akan dijadikan lumbung perbekalan pasukan Sultan Agung.
Oohya! Baca juga ya:
OPM, Organisasi Papua Merdeka Vs Organisasi Papua Money
Maka, tiga kapal Kompeni dari Batavia itu oada 4 Juli 1829 memusnahkan 200 kapal Sultan Agung di Tegal. Kapal-kapal itu membawa padi untuk disimpan di Tegal.
Kompeni juga turun ke darat untuk membakar 400 rumah dan satu gunungan padi. Dari Tegal, tiga kapal dari Batavia itu bergerak ke Cirebon, memusnahkan gunungan padi yang ada di Cirebon.
Pasukan Sultan Agung yang sudah tiba di Batavia, perbekalannya hanya cukup sampai Agustus 1829. Tak ada pasokan lagi, pekerjaan membendung Sungai Ciliwung pun gagal karena pasukan yang mengerjakannya sudah lelah dan lapar.
Meski gagal lagi, setidaknya, kematian GubernurJenderal Kompeni JP Coen mengobati kepedihan Sultan Agung, meski Sultan Agung juga ditinggal lari oleh Dipati Ukur dan pasukannya. Pada 1830, Sultan Agung harus menyelesaikan urusan dengan Dipati Ukur.
Rinuan orang Ukur tewas di tangan pasukan Sultan Agung. Dipati Ukur juga dijatuhi hukuman mati.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Babad Tanah Djawi lan Tanah-Tanah ing Sakiwa Tengenipoen, gubahan L van Rijckevorsel dan RDS Hadiwidjana (1929)
- Puncak Kekuasaan Mataram, karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]