Garang Asem Masakan Tradisional Kesukaan Sunan Kalijaga
Garang asem merupakan salah satu masakan kesukaan Sunan Kalijaga. Tapi bukan garang asem daging ayam, melainkan garang asem daging kerbau.
Sunan Kalijaga hidup pada abad ke-15. Artinya masakan seperti sup bernama garang asem itu sudah berumur panjang.
Abdullah Muzi Marpaung, dosen mata kuliah ‘Antropologi Pangan’ dan ‘Teknologi Pengolahan Makanan Tradisional Indonesia’ di Program Teknologi Pangan Universitas Swiss German, Tangerang, menyebut buku resep tahun 1897 memuat resep masakan tradisional itu dengan nama ulam garang asem.
Oohya! Baca juga ya:
Garang Asem, Apanya yang Digarang?
"Suatu masakan mirip pindang –semacam sup khas Indonesia– yang terbuat dari daging sapi yang telah diolah, baru dimasak dengan garam terasi, bawang merah, bawang putih, gula, asam, cabai, dan lengkuas yang dihaluskan," kata Abdullah Muzi Marpaung tentang ulam garang asrm itu (oohya.republika.co.id, 20/5/2024).
Apa itu ulam yang menjadi bahan garang asem itu? Ulam adalah bahasa krama halus untuk iwak.
Lalu apa itu iwak? Pernah ada dua teman yang baru pertama kali berkunjung kd Jakarta. Saat makan siang, keduanya makan dengan sayur bayam dan telur.
Salah satu teman bingung sebab ia harus membayar lebih mahal dari temannya. Padahal yang mereka makan sama.
Oohya! Baca juga ya:
Sultan Agung Serbu Batavia, Gubernur Jenderal Meninggal Dunia
Perbedaan harga itu rupanya terjadi karena penyebutan yang berbeda. Teman yang membayar lebih murah, ketika hendak membayar seusai makan, menyebut: nasi, sayur bayam, dan telur.
Sedangkan teman yang membayar lebih mahal mengatakan: nasi, sayur bayam, dan ikan telur. Untuk lauk ia harus membayar ikan dan telur, sehingga ia harus membayar lebih mahal dari teman yang hanya makan drngan lauk telur.
Padahal yang ia maksud ikan telur adalah iwak endhog. Orang Jawa biasa menyebut iwak untuk daging, ikan, dan lauk.
Ketika orang Jawa menyebut iwak pitik, maksudnya adalah daging ayam. Iwak pitik dijadikan bahan garang asem mulai abad ke-20.
Garam asem masakan tradisional kesukaan Sunan Kalijaga masih berbahan iwak kebo. Iwak kebo artinya daging kerbau.
Ada lagi sebutan iwak, yaitu iwak peyek, maksudnya adalah lauk rempeyek. Maka, iwak endhog maksudnya lauk telur.
Oohya! Baca juga ya:
Yang Dilakukan Bung Karno Begitu Tahu akan Ditembak Mati Belanda
Oleh teman yang mrmbayar mskan lebih mahal itu, iwak endhog ia terjemahkan sebagai ikan telur, bukan lauk telur. Di Sunda, lauk adalah sebutan untuk ikan.
Padmasusastra mempunyai penjelasan mengenai perbedaan iwak dan lauk. Lauk yang di Jawa disebut lawuh.
Yang disebut iwak adalah daging. Sedangkan yang disebut lawuh antara lain sayur rebus, telur, gereh.
Padmasusatra menyebut garam asrm merupaksn masakan kesukaan Sunan Kalijaga semasa muda. Srlain garam asrm, Synan Kalijaga menyukai juga empal banteng, padhanara sapi, gecok kijang, dendeng rusa, becrk kambing, opor bebek, blegudheg ayam hutan, mangut bandeng.
Pada zaman Sunan Kalijaga hingga abad ke-19 daging yang diolah untuk garang asem berupa daging kerbau dan daging sapi. Pada abad ke-20 sudah menggunakan daging ayam.
Oohya! Baca juga ya:
Kenapa Bung Karno Ceraikan Anak Tjokoraminoto, Istri Pertamanya?
Berikut adalah resep garam asem tahun 1920-an, berbahan daging ayam:
Ambillah satu daging ayam yang sudah bersih. Potong-potong sebesar buah kemiri.
Ulek bumbu, terdiri dari ketumbar, asam, bawang merah, bawang putih, daun salam,gula, terasi, irisan laos. Semuanya ambil secukupnya.
Lalu masukkan ke dalam bungkus daun pisang, beri santan secukupnya. Jika dalam satu bungkus ada empat potong daging ayam, beri empat sendok air.
Setelah dibungkus lalu dikukus di langseng. Api kayu jaga agar terus menyala. Garang asem sudah masak jika daun pisang yang dijadikan bungkus dudah berubah warna.
Masakan tradisional yang dulu menjadi kesukaan Sunan Kalijaga itu belum berbahan daging ayam. Melainkan daging kerbau.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Javaansche Synoniemen, karya Padmasusastra (1912)
- Kajawen edisi 17 Agustus 1929
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]