Pitan

Perintis Masyarakat Kolonial di Batavia Ada Budak dan Gundik pada awal Kehadiran Kompeni, Siapa Saja Mereka?

Siapa saja perintis masyarakat kolonial di Batavia pada awal kehadiran Kompeni? Setelah gagal mengirim gadis-gadis dari Belanda bagaimana ceritanya muncul budak dan gundik?

Pada akhir 1618, Inggris mendapat pelayanan dari penguasa Jayakarta. Pada 23 Desember 1618, permukiman orang-orang Belanda diserbu oleh orang-orang yang menentang Kompeni.

“Pedagang senior Pieter van den Broeck segera mengumpulkan semua orang yang tinggal di dalam permukiman Belanda,” kata Jean Gelman Taylor.

Terkumpul 350 orang. Merekalah yang menjadi unsur utama pembentuk masyarakat kolonial di Batavia pada saat Kompeni bercokol. Lho kok ada budak dan gundik, siapa saja mereka?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Keturunan dari Raja yang Punya Banyak Anak Jadi Raja tanpa Cawe-cawe Orang Tua, Ada yang Memakai Cara Licik

Pada akhir 1618 itu, JP Coen menyelamatkan diri ke Maluku. Di Maluku, Coen menyiapkan pasukan untuk merebut kembali Batavia dan Banten dan sekaligus ingin mengusir Inggris.

Saat itu Coen merupakan orang kedua di Kompeni. Ia memiliki tekad untuk menegakkan supremasi Kompeni di berbagai kota di Hindia Timur.

Hindia Timur dipakai sebagai nama selama Kompeni bercokol. Baru berganti nama menjadi Hindia Belanda sejak Gubernur Jenderal HW Daendels bertugas.

Batavia ingin ia jadikan sebagai pelabuhan bagi kapal-kapal Belanda, sebagai pelabuhan utama untuk menyimpan barang. Sekaligus akan menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan Kompeni di Hindia Timur.

Itu adalah cita-cita yang belum terwujud sejak ditetapkan pada 1609 oleh Heeren XVII. Heeren XVII merupakan badan pengurus Kompeni (VOC) di Belanda.

Pada 1618 itu, Kompeni memang mengalami pukulan tak hanya di Batavia. Di Jepara, ia juga mengalami pukulan.

Loji Kompeni yang dibangun di Jepara diserbu oleh pasukan Mataram, yaitu pada 18 Agustus 1618. Mataram lalu bekerja sama dengan Inggris, sebagaimana Jayakarta juga bekerja sama dengan Inggris.

Oohya! Baca juga ya: RA Kartini tak Suka Buku Java, tapi Ia Mau Membaca tanpa Jeda Jika Suka

Dari 350 orang yang dikumpulan Den Broeck di Batavia, sekitar 70 orang adalah prajurit Kompeni. Kekuatan garnisun Kompeni di Batavia saat itu hanya terdiri dari 143 orang.

Tak semuanya orang Belanda. Sebanyak 77 orang adalah orang Jerman, Prancis, Skotlandia, Inggris, Denmark, Fleming,dan Wallons.

Di antara mereka, ada pula perempuan dan anak-anak. Pada 1609 dari Belanda diberangkatkan 36 perempuan bersama armada Kompeni ke Batavia.

Mereka adalah istri para prajurit dan pelaut Kompeni. Mereka diduga ada yang selamat sampai Batavia dan ikut hadir ketika dikumpulkan Den Broeck pada Desember 1618.

Sebab, dalam catatan Belanda disebut ada dua meninggal di dalam perjalanan. Tapi tidak ada cerita selanjutnya mengenai 34 perempuan lainnya.

Dari Maluku, JP Coen berkirim surat ke Belanda membahas pengiriman prajurit-pelaut beserta istri masing-masing. Nadanya laporannya negatif, tidak sesuai dengan misi pembentukan masyarakat kolonial. Mungkin karena mereka juga menyimpan gundik?

Oohya! Baca juga ya: Siapa Gadis Medang yang Jadi Rebutan Batara Wisnu dan Batara Guru? Halo Warga Grobogan, Ada yang Tahu?

“Reputasi kami merosot karena skandal yang mereka buat dengan cara hidup mereka yang seperti binatang, kegemaran mereka untuk mabuk, dan kecabulan mereka,” kata JP Coen.

JP Coen mendambakan wilayah koloni yang diisi oleh orang-orang yang sudah menikah dan baik-baik. Heeren XVII merespons Coen dengan mengirim tiga keluarga Belanda beserta beberapa gadis.

“Enam gadis pertama disiapkan dengan baik untuk tiba di Batavia pada 1622. Mereka disebut sebagai ‘para anak gadis VOC’,” kata Jean Gelman Taylor.

Mereka mendapat satu setel pakaian dan menandatangani kontrak kerja dengan Kompeni meski tidak mendapat gaji. Orang-orang Belanda di Hindia Timur yang ingin menikahinya wajib memberikan mas kawin kepada mereka.

Kontrak kerja mereka adalah lima tahun. Jika dalam lima tahun itu ada yang menikahinya, maka masa tinggal mereka di Hindia Timru diperpanjanag lagi 15 tahun.

Setelah menikah, mereka mendapat jaminan dan uang esktra dari Kompeni. “Pemerintah Batavia berkewajiban untuk menyiapkan tempat tinggal yang pantas dan bantuan lainnya lainnya untuk keluarga pionir ini,” kata Jean Gelman Taylor.

Setelah pengiriman pertama, diteruskan pengriiman-pengiriman berikutnya. Para gadis itu berasal dari keluarga miskin di Belanda atau sudah yatim piatu.

Oohya! Baca juga ya: Derita RA Kartini Setelah Dinikahi Lelaki yang Sudah Punya Istri, Siapa yang Ingin Menodai Nama Pejuang Emansipasi Perempuan Itu?

Tapi, tidka selamanya sesuatunya berhalan baik-baik saja. Banyak dari mereka yang selamat sampai Batavia tak bis apulang lagi ke Belanda, tidak mendapat suami, dan yang terburuk terjeremus ke pelacuran.

Pengiriman perempuan ddari Belanda kemudian dihentikan pada 1652. Tapi, dihidupkan lagi pada 1669.

Pelayaran ke Batavia bukanlah pelayaran yang menyenangkan. Pada 1640 diberangkatkan 300 orang. Perjalanan selama lebih dari delapan bulan itu membuat 80 orang di nataranya meninggal dunia di kapal.

Banyak yang tersiksa selama perjalanan, menjadi stres, sehingga banyak yang diikat di atas tempat tidur mereka. “Gigi mereka rontok karena sariawan yang sangat parah, dan gusi mereka sering kali tertelan, menghitam dan busuk sehingga kami harus mencuci memotongnya setiap hari,” kata Nicolaus de Graaff.

Awak kapal pun mengalami nasib serupa. Mereka yang selamat meninggal setelah beberapa bulan menjejakkan kaki di Batavia, gagal menjalankan misi Kompeni membentuk masyarakat kolonial di Batavia.

Pilihan berikutnya adalah menyediakan perempuan-perempuan pribumi seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa orang Eropa pada awal-awal mereka hadir di Batavia. Perempuan-perempuan priumi dijadikan gundik.

Oohya! Baca juga ya: Jangan Membaca Buku Lebih dari 1,5 Jam Hai Mahasiswa, Ini Tip Membaca Belajar-Kritis

Saat pedagang senior De Broeck mengumpulkan 350 penghuni permumikan Belanda di Batavia, di antara mereka ada gundik. Gundik itu tercatat di dalam daftar 80 budak laki-laki dan perempuan.

“Para pedagang senior di Batavia mengambil perempuan-perempuan lokal dan mengimpor budak sebagai gundik,” tulis Jean Gelman Taylor mengutup catatan Belanda.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Kehidupan Sosial di Batavia, karya Jean Gelman Taylor (2009)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Makan Siang Bergizi, Anak 10 Tahun di Batavia Meninggal karena Kurang Gizi