Anak Sultan Agung Marah kepada Paman Ipar karena Bekisar Betina Jadi Jantan
Anak Sultan Agung menjadi raja pada awal 1646, saat berusia 27 tahun. Ia memiliki paman ipar yang memelihara ayam betina.
Ayamnya bukan sembarang ayam, melainkan ayam bekisar yang bagus, tak ada yang menyamainya. Paman ipar yang bernama Pangeran Surabaya itu mengaku tidak pantas memilikinya, sehingga ia berikan ayam itu kepada sang raja Mataram.
Ketika Amangkurat I menerima bekisar itu, ia mengaku senang, tetapi di dalam hati ia memendam rasa marah. Ayam bekisar itu semula adalah betina, tetapi setelah diberikan kepada Amangkurat I berubah menjadi bekisar jantan.
Oohya! Baca juga ya:
Kompeni Tembakkan Tinja, Kok Bisa Prajurit Sultan Agung Mati karena Peluru Tinja?
Saat itu, anak Sultan Agung itu sudah memiliki banyak anak, putra tertuanya dari istri yang berasal dari Surabaya, Pangeran Adipati Anom, telah dicalonkan sebagai putra mahkota. Dari istri yang lain, Amangkurat I memiliki anak Pangeran Puger dan Pangeran Alit.
Dari istri yang lain lagi, Amangkurat I memiliki anak bernama Pangeran Mertosono. “Serta dua orang putra lagi yang masih kecil. Seorang di antaranya bernama Raden Tapa,” tulis Babad Tanah Jawi.
Ayam bekisar betina yang berubah menjadi jantan itu selalu mengganjal hati Amangkurat I. Kemarahannya membuat takut para menteri, dan kabar Amangkurat marah itu segera tersebar.
Pangeran Surabaya pun mendengar kabar Amangkurat I marah kepadanya. Pangeran Surabaya tak pernah terpikirkan kejadian itu.
Maka, paman ipar Amangkurat I itu pun --yang selama ini tinggal di Mataram setelah Surabaya ditaklukkan Sultan Agung pada 1625-- segera menuju ke alun-alun bersama seluruh anggota keluarganya. Saat ia menuju ke alun-alun, Amangkurat I sedang berada di Siti Inggil bersama kerabat istana.
Oohya! Baca juga ya:
Mabuk Sebelum Melawan Sultan Agung, Adipati Pati Tewas di Medan Perang, Siapa yang Membunuh?
Amangkurat I hendak mengumumkan keinginannya mengangkat anak almarhumah Ratu Wetan, Raden Aryo Notobroto, sebagai putra mahkota menggantikan Pangeran Adipati Anom. Ketika ia menikahi Ratu Wetan, Ratu Wetan sedang mengandung.
Ratu Wetan menjadi permaisuri yang sangat dikasihi Amangkurat I. Begitu Ratu Wetan, semua selir dan dayang-dayangnya ia kurung hingga meninggal dunia.
Di alun-alun, Pangeran Surabaya beserta keluarganya berjemur. Jumlah mereka ada 64 orang.
Dari Siti Inggil, Amangkurat I bisa melihat adanya orang-orang yang berjemur di alun-alun dekat beringin kurung. Amangkurat I menanyakan maksud orang-orang itu berjemur dan bertanya asal-usulnya.
“Cepat periksa siapa yang berjemur itu, siapa namanya, apa maksudnya?” kata Amangkurat I memberi perintah.
Gandek, yang diperintah raja, segera turun dari Siti Inggil, dan pergi ke alun-alun. Setelah dekat, tahulah dia bahwa yang berjemur adalah paman ipar Amangkurat I beserta keluarga.
Oohya! Baca juga ya:
Grobogan Banjir, Desember 1955 Ada Pemilu, Mengapa Residen Semarang Kirim Perahu Motor?
“Aku berjemur untuk menyerahkan hidup matiku kepada Raja. Laporkan saja demikian kepada Sang Raja,” kata Pangeran Surabaya menjawab pertanyaan Gandek.
Gandek pun melapor, Amangkurat I pun kaget. Tak perpikirkan olehnya jika paman iparnya akan menyerahkan hidup matinya kepada raja.
Amangkurat I mencoba memikirkan tindakan paman iparnya itu. Pun memikirkan putra mahkota.
Ketika Amagkurat I menerima ayam bekisar betina yang berubah menjadi jantan, ia mencurigai paman iparnya jika pemberian itu merupakan sindiran. Karenanya, ia menduga paman iparnya itu menginginkan dirinya segera lengser dan menyerahkan kekuasaan kepada putra mahkota yang merupakan cucu Pangeran Surabaya.
Cucu Pangeran Surabaya adalah Pangeran Adipati Anom, putra tertua Amangkurat I. “Sekarang sudah dewasa dan sudah pantas bertahta menjadi raja. Itulah gelagat Paman Surabaya,” kata Amangkurat I di hadapan para menteri.
Oohya! Baca juga ya:
Digunjing karena Pinjol, Ternyata ITB Miliki Alumni Presiden dan Musuh Soeharto serta Anggota PMB
Ia merasa masygul paman iparnya memiliki keinginan menaikkan cucunya agar bisa segera menjadi raja. Amangkurat I tidak suka dengan caranya.
“Bekisar dipersembahkan kepadaku, katanya pantas berada di keraton. Aku ini diminta agar turun tahta, agar cucunya yang akan naik tahta. Begitulah gelagat Pangeran Surabaya yang ingin memacu waktu. Orang tua tidak pantas melakukan itu,” lanjut Amangkurat I.
Namun, setelah mendengar bahwa paman iparnay menyerahkan hidup matinya kepadanya, Amangkurat I berpikir bahwa dirinyalah satu-satunya penguasa Mataram sekaligus menjadi panglima perang. “AKu ini ibarat laut, baik buruk semuanya ditampung,” kata Amangkuta I.
Maka, anak Sultan Agung itu pun segera memerintah Gandek agar memanggil Pangeran Surabaya beserta istrinya untuk menemuinya. Pangeran Surabaya punmenyatakan tak ada niat menyindir raja.
Ia mengaku tulis memberikan ayam bekisar kepada raja karena bekisar itu sangat indah, sehingg ahanya raja yang layak memilikinya. “Hamba sama sekali tidak bermaksud menyindir, demi Allah demi Rasulullah,” kata Pangeran Surabaya, lantas meminta raja untuk segera menghukumnya.
“Aduhai Sang Raja, lebih baik hamba dibunuh lebih dahulu kalau suami hamba berbuat jahat. Tumpaslah anak cucunya seandainya ada pikiran yang salah, silakan saja,” kata istri Pangeran Surabaya.
Oohya! Baca juga ya:
Anak Sultan Agung itu pun menahan air matanya mendengar perkataan bibinya itu. Para bupati sudah berlinang air mata.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Jilid III, penerjemah Amir Rokhyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]