Mabuk Sebelum Melawan Sultan Agung, Adipati Pati Tewas di Medan Perang, Siapa yang Membunuh?
Sebelum maju ke medan perang melawan Sultan Agung, Adipati Pati meminta kesetiaan dari para tumenggungnya. Dalam pertemuan itu, mereka menari tayub dan mabuk.
“Orang mana yang ingin hidup kalau gustinya maju perang? Siapa yang nanti melarikan diri, jangan diberi nasi, suapilah tinja,” kata Tohpati, salah satu tumenggungnya.
Setelah perang, Sultan Agung meminta mayat Adipati Pati diberdirikan, lalu meminta diperiksa senjata dan giginya. “Siapa yang membunuh Adipati?” tanya Sultan Agung.
Oohya! Baca juga ya:
Sebelum Perang Melawan Sultan Agung, Mengapa Adipati Pati Mandi Suci dan Memakai Wewangian?
Sebelum maju perang, Adipati Pati memang sudah siap mati di tangan prajurit Mataram. Ia sempat berpesan, sepeninggalnya agar para istri patuh kepada Mataram.
Ia cukup puas dengan janji setia para tumenggung. “Kalau Gusti mati, kamilah yang akan mati lebih dahulu,” kata Kanduruhan.
“Hamba mengabdi hanya kepada Paduka. Kalau Paduka mati, hamba jangan ditinggalkan,” kata Sawunggaling.
“Hamba mohon kalau Gusti berperang, hambalah yang maju terlebih dahulu. Kalau hamba mati, terserah pada Gusti,” kata Sindurejo.
“Permintaan hamba, hamba tidak ingin pulang perang dalam keadaan hidup,” kata Rajamenggala.
Oohya! Baca juga ya:
Grobogan Banjir, Desember 1955 Ada Pemilu, Mengapa Residen Semarang Kirim Perahu Motor?
Adipati Pati menegaskan, bermusuhan dengan Sultan Agung ia tak berpikir akan menang. “Aku pasti mati,” kata dia.
Tapi ia tak mungkin mundur, karena itu sudah takdir. Karena itu, para tumenggung pun berusaha melindungi Adipati Pati.
Mereka meminta agar Adipati Pati maju belakangan. Merekalah yang akan maju terlebih dulu melawan pasukan Mataram.
Hanya Tumenggung Mangunjaya yang meminta Adipati Pati mengurungkan niatnya berperang melawan Sultan Agung. Ia menyarankan agar Adipati Pati setia kepada Sultan Agung yang sangat mengasihi Adipati Pati.
Mendengar saran itu, para tumenggung lain pun mencela Mangunjaya sebagai takut mati. “Kalau ada yang takut mati, kasihan perempuan yang diajak bersebadan; pantasnya lelaki macam itu dijodohkan dengan anjing,” kata Borong.
Mangunjaya lalu disarankan tidak usah ikut berperang. Tapi, Mangunjaya tidak mau menanggapinya.
Oohya! Baca juga ya:
300 Ribu Murid SMK dari Keluarga Rentan akan Dilatih AI oleh Plan Indonesia dan Microsoft
Pada peperangan itu akhirnya Adipati Pati tewas terkena tusukan tombak. Sebelum tewas, ia mengetahui pasukannya telah habis, tinggal 40 prajurit.
Ketika Adipati mengamuk dengan kerisnya saat dikepung prajurit Mataram, ia terkena tusukan tombak. Sultan Agung yang mendapat laporan Adipati Pati sudah tewas, meminta agar mayatnya dibawa kepadanya.
Mereka yang mendapat tugas membawa mayat kebingungan. Mau dipanggul, ternyata ia musuh raja. Tetapi jika diseret, ia kerabat raja.
Maka, mayat Adipati Pati kemudian dibawa dengan cara diangkat kepalanya, lalu diseret. “Ayo berdirikan mayat adikku,” kata Sultan Agung setelah mayat ada di hadapannya.
Sultan Agung memerintah agar diperiksa senjata yang dibawa Adipati Pati, yang memeriksanya tidak menemukan senjata. Sultan Agung menyimpulkan jika Adipati Pati memang tidak bermaksud untuk kembali dengan selamat.
Oohya! Baca juga ya:
Digunjing karena Pinjol, Ternyata ITB Miliki Alumni Presiden dan Musuh Soeharto serta Anggota PMB
Sultan Agung kemudian meminta diperiksa mulutnya untuk dibersihkan. Yang memeriksa mendapati gigi Adipat Pati kotor, Sultan Agung menyimpulkan Adipati Pati tidak sempat mengunyah pinang sirih sebelum berangkat perang.
Lalu, Sultan Agung bertanya. “Siapa yang membunuhnya?”
Para prajurit berebut mengaku, sehingga membuat Sultan Agung meminta memeriksa tombaknya yang diserahkan kepada Nayadarma. Tombak bernama Ki Barukuping itu ternyata berlumuran darah.
Sebelum dikeroyok prajurit Mataram, Adipati Pati yang sedang mengamuk sempat berhadapan dengan Sultan Agung. Nayadarma, prajurit pengawal Sultan Agung pun pamit kepada rajanya sambil membawa tombak Sultan Agung.
“Baiklah, hendaknya kau benar-benar berani. Tusukkan tombakku itu,” kata Sultan Agung kepada Nayadarma.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Jilid II, penerjemah Amir Rokhyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]