Pitan

Digunjing karena Pinjol, Ternyata ITB Miliki Alumni Presiden dan Musuh Soeharto serta Anggota PMB

ITB digunjing karena kasus pinjol masuk kampus. Ternyata ITB memiliki alumni yang menjadi presiden, menjadi musuh politik Soeharto, dan menjadi anggota Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB).

Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) digunjing karena kasus pinjol untuk uang kuliah tunggal (UKT). Ternyata ITB yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda ini memiliki alumni yang pernah menjadi presiden.

Sukarno adalah alumni ITB yang menjadi presiden sejak Indonesia Merdeka. BJ Habibie yang menjadi presiden di era reformasi 1998-1999 juga pernah berkuliah di ITB.

ITB juga memiliki alumni yang menjadi musuh Soeharto, yaitu Slamet Bratanata, yang pernah menjadi menteri pertambangan di era Presiden Sukarno. Slamet Bratanata dikenal juga sebagai pendiri Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB) pada 1948 dan BJ Habibie tercatat menjadi anggota PMB pada 1954.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Husni Thamrin Meninggal Setelah Disuntik Dokter yang Dikirim Polisi Belanda, Ini Profil Ketua Ikatan Dokter Hindia yang Merawat Thamrin Itu

Sukarno masuk ITB pada 1921 ketika kampus itu masih bernama Technische Hoogeschool te Bandoeng. Sedangkan Habibie masuk ITB pada 1954, pada saat Slamet Bratanata lulus dari ITB.

Saat itu Sukarno sudah menjadi presiden Indonesia. Habibie hanya setahun di ITB lalu ia berkuliah di Jerman.

Meski masuk pada 1921, Sukarno baru lulus ujian tingat dua pada 1924, karena ia sempat keluar kuliah dan mendaftar lagi pada 1922. Orang Indonesia yang lulus ujian tingkat dua bersama Sukarno adalah D Asmo, M Anwari, M Sutono, dan Sutoto.

Ketika menjadi presiden, Sukarno memiliki visi Indonesia yang negeri kepulauan harus menguasai industri kedirgantaraan. Maka, Sukarno memandang Indonesia perlu memiliki industri strategis untuk dapat menghubungkan kepuluan-kepulauan itu.

Setahun berkuliah di ITB, Habibie kemudian mengambil studi itu di Jerman. Lulus pada usia 28 tahun, ia dilarang pulang oleh Sukarno.

Oohya! Baca juga ya:

Anak Sultan Agung Ini Memang Berbeda dengan Ayahnya dalam Urusan Wanita untuk Dijadikan Istri

Sukarno meminta Habibie masuk industri di Jerman. Kelak, jika sudah mengetahui seluk-beluk kedirgantaraan di Jerman, Habibie harus pulang ketika Indonesia sudah membutuhkan.

Habibie pulang ketika Indonesia dipimpin oleh Soeharto. Ia lalu mengelola industri strategis, mecakup industri kedirgantaran, industi perkapalan, industri pertahanan.

Ketika menjadi menteri di era Soeharto, Habibie menjadi pemecah kebekuan komunikasi Soeharto dengan Petisi 50. Petisi 50 adalah kumpulan 50 tokoh kritis yang melontarkan kritik kepada Presiden Soeharto, di antaranya adalah Slamet Bratanata.

Karena menjadi musuh Soeharto, Slamet Bratanata dan kawan-kawan dimatikan secara politik. Mereka dilarang bepergian ke luar negeri. Anggota Petisi 50, selain Slamet Bratanata, antara lain ada Jenderal (Purn) TNI AH Nasution dan Ali Sadikin.

Koran-koran dilarang memuat berita mengenai aktivitas Petisi 50. Jika pun kemudian ada koran yang berani memuatnya, itu dimuat dalam kolom yang pendek.

Maka, untuk mengkritik Soeharto, Petisi 50 menerbitkan sendiri catatan-catatan mereka. Catatan-catatan kritis itu disebarkan secara diam-diam.

Oohya! Baca juga ya:

Apakah Moh Husni Thamrin Disuntik Mati oleh Belanda?

Habibie memecah kebekuan komunikasi Petisi 50 dengan pemerintah. Habibie mengundang Petisi 50 untuk melihat industri strategis yang menjadi tanggung jawab Habibie selaku menristek.

Kunjungan itu membuat Petisi 50 menjadi berita utama di koran-koran. Saat menjadi menteri pertambangan di masa Presiden Sukarno, Slsmet Bratanata menjadi salah satu yang meneken kontrak dengan PT Freeport yang membuka tambang di Papua.

Priyantono Oemar

Berita Terkait

Image

Pernah Jadi Plonco dan Dapat Pertanyaan Brain Teaser? Jangan Disepelekan!

Image

Mau Ajukan Calon Pahlawan Nasional? Begini Urus Administrasi Usulan

Image

Kakek-Nenek ITB Tampil Menghibur di Festival Band VI Alumni ITB di Taman Kota Peruri