Sebelum Perang Melawan Sultan Agung, Mengapa Adipati Pati Mandi Suci dan Memakai Wewangian?
Pati memberontak lagi kepada Mataram. Pemberontakan pertama dilakukan pada masa Panembahan Senopati menjadi raja Mataram, pemberontakan kedua dilakukan pada masa Mataram dipimpin oleh Sultan Agung.
Pada pemberontakan pertama, kakek Sultan Agung berhasil melumpuhkan perlawanan Adipati Pati. Bagaimana Sultan Agung menghadapi perang melawan Adipati Pati kali ini setelah prajurit Pati tinggal 40 orang?
Kepada para istri yang menasihatinya agar menghadap ke Sultan Agung, Adipati Pati Bragola menyampaikan pesan. Oleh karena itu, sebelum maju menghadapi pasukan Mataram, ia mandi suci lalu memakai mewangian.
Oohya! Baca juga ya:
Ayah Sultan Agung yang Muda yang Menjadi Raja, Anak Presiden yang Muda yang Menjadi Cawapres
Pasukan Mataram dipimpin langsung oleh Sultan Agung. Maka, kepada para panglima perangnya, Bragola meminta agar tetap bersama hidup atau mati, tidak boleh ada yang melarikan diri.
Setelah genderang perang dipukul, Sawunggaling dan Kanduruhan memimpin penyerangan kepada prajurit Mataram. Mereka mempersilakan Adipati Pati tetap berada di barisan belakang.
Sorak-sorai menimpali genderang perang menyemangati pasukan Sawunggaling dan Kanduruhan. Di selatan, prajurit Mataram juga melakukan hal serupa, sehingga sorak-sorai dari utara dan selatan saling bersahutan.
Sawunggaling menerjang pasukan Mataram. “Kerubutilah aku, orang Mataram. Barangkali kalian belum tahu, akulah Sawunggaling prajurit unggulan Pati,” teriak Sawunggaling.
Menyusul kemudian Kanduruhan. “Bambu serumpun dan telur satu sarang, jangan ada yang ingkar janji. Matilah bersama, jangan ada yang goyah,” teriak Kanduruhan menyemangati prajuritnya.
Oohya! Baca juga ya:
Grobogan Banjir, Desember 1955 Ada Pemilu, Mengapa Residen Semarang Kirim Perahu Motor?
Suara senapan dan meriam bergemuruh. “Langit gelap oleh mesiu,” tulis Babad Tanah Jawi.
Tombak para prajurit yang beradu dengan perisai menambah gegap gempitanya suasana perang. Tombak-tombak patah, sehingga para prajurit menggunakan pedang dan perisai.
Sawunggaling mengamuk, Kanduruhan juga. "Kerubutilah aku, Kanduruhan, ipar Ki Dipati Bragola dari Pati. Ayo kerubutilah supaya hatiku gembira. Datanglah dan keroyoklah aku,” teriak Kanduruhan.
Adipati Pati akhirnya juga maju, mengamuk memendam dendam kepada Sultan Agung. Orang Mataram kocar-kacir, sehingga Sutan Agung memerintahkan gamelan Ki Bicak terus dibunyikan.
Sebelumnya, Sultan Agung khidmat bersemedi, memohon petunjuk Yang Maha Kuasa. Sebelum memulai peperangan ini, saat Sultan Agung mengadakan pasowanan, Adipati Pati tidak hadir.
Sultan Agung pun menanyakan penyebab Adipati Pati tidak hadir. Tumenggung Hendranata menyampaikan infromasi bahwa Adipati Pati hendak memberontak kepada Mataram.
Oohya! Baca juga ya:
300 Ribu Murid SMK dari Keluarga Rentan akan Dilatih AI oleh Plan Indonesia dan Microsoft
“Akan aku datangi sendiri, sebab Adimas Dipati Bragola akan menandingiku bertanding keperkasaan. Orang Mataram bersiaplah semua, aku berangkat besok,” kata Sultan Agung sebelum membawa pasukan Mataram untuk memerangi Pati.
Ketika mendengar Ki Bicak telah dibunyikan, Adipati Pati berseru lantang kepada para prajuritnya. Kanduruhan sedang menghadapi Panembahan Puruboyo, tombaknya mengenai Panembahan Puruboyo, tetapi tak ada darah di ujung tombaknya.
Kanduruhan pun kesal, dan kembali menusukkan tombaknya kepada Panembahan Puruboyo. Kali ini tombaknya patah.
Keris yang kemudian ia gunakan juga tidak bisa melukai Panembahan Puruboyo. Akhirnya, Kanduruhan tewas akibat tusukan keris Panembahan Puruboyo.
Sedangkan Sawunggaling sedang terjepit dikerubuti prajurit Mataram. Ranggamalela ingin menolong Sawunggaling, tetapi ia juga harus berhadaoan dengan Panembahan Puruboyo yang tidak mempan oleh senjata apa pun.
Oohya! Baca juga ya:
Digunjing karena Pinjol, Ternyata ITB Miliki Alumni Presiden dan Musuh Soeharto serta Anggota PMB
Tombak Ranggamalela patah. Maka, Panembahan Puruboyo pun menusukkan kerisnya, sehingga Ranggamalela juga tewas.
Adipati Pati malu melihat prajuritnya yang tadinya ribuan, tinggal 40 orang. Ia juga sudah dikepung prajurit Mataram.
Adipati Pati melompat dari kudanya lalu mengamuk dengan kerisnya. Lambungnya kena tusukan tombak, lalu terjatuh dan tewas.
Sebelum maju ke medan perang melawan pasukan Sultan Agung, ia mengumpulkan para istri. “Ketahuilah, aku pamit mati kepada kalian sebab akan menghadapi perang Kakang Raja di Mataram,” kata Adipati Pati Bragola.
Ia pun berpesan kepada pada istrinya agar mengabdi kepada Mataram. “Ketahuilah, kalau aku berperang melawan Kakang, aku pasti mati [...] Sudah dipastikan Hyang Widi, bahwa aku akan hancur oleh bala tentara Mataram. Akulah yang mengakhiri hidup bahagia di negeri Pati,” lanjut Adipati pati.
Para istri Adipati Pati pun menangis, lalu menasihati kembali agar segera menghadap kepada Sultan Agung, tidak perlu melakukan pemberontakan. Namun, Adipati Pati telah berteguh hati.
Oohya! Baca juga ya:
Ia ingin mati di tangan pasukan Mataram. Sebelum berperang, ia pun mandi suci dan memakai wewangian.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Jilid II, penerjemah Amir Rokhyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]