Ayah Sultan Agung yang Muda yang Menjadi Raja, Anak Presiden yang Muda yang Menjadi Cawapres
Sebelum meninggal, Panembahan Senopati menyampaikan wasiat ketika menunjuk Pangeran Adipati Anom menjadi penggantinya. “Memang telah kehendak Tuhan yang muda menjadi raja. Perintah Tuhan tidak bergeser,” kata pendiri Mataram itu.
Kakek Sultan Agung itu lantas meminta semua putranya menghormati keputusannya. Ia meminta agar yang tua dan yang muda berbakti kepada raja baru.
Panembahan Senopati juga meminta agar jangan ada yang berselisih dengan raja. Tidak seperti sekarang, guru-guru besar di berbagai perguruan tinggi berselisih dengan presiden yang berkampanye untuk anaknya yang jadi cawapres agar menjadi wapres.
Oohya! Baca juga ya:
Grobogan Banjir, Desember 1955 Ada Pemilu, Mengapa Residen Semarang Kirim Perahu Motor?
Tentu saja, Panembahan Senopati tak perlu mengubah undang-undang untuk menunjuk anaknya yang masih muda menjadi raja baru Mataram. Pangeran Adipati Anom memiliki nama kecil Raden Mas Jolang, merupkan putra ke-10 dari 22 bersaudara.
Ia kemudian menjadi raja dengan nama Prabu Anyokrowati. Prabu Anyokrowati merupakan ayah dari Raden Mas Rangsang yang kelak menggantikan ayahanda menjadi raja Mataram dengan nama Sultan Agung Anyokrokusumo.
Panembahan Senopati meminta Mandaraka dan Mangkubumi untuk menobatkan Pangeran Adipati Anom sebagai raja, sebab dirinya tak lama lagi akan meninggal. Setelah jenazah dikafani dan dishalatkan, Mandaraka meminta anggota keluarga yang mash menangis untuk menghentikan tangisnya.
Setelah pemakaman selesai, semua berkumpul di bangsal, termasuk para menteri dan bupati. “Wahai orang-orang Mataram, ketahuilah bahwa kini Pangeran Adipati bertahta menjadi raja di negeri Mataram,” kata Mangkubumi membuka pembicaraan.
Mangkubumi pun memberikan kesempatan kepada orang-orang yang tidak setuju dengan pengangkatan itu. “Sesiapa yang tidak setuju, mengamukkah, aku ini lawanmu,” tantang Mangkubumi.
Oohya! Baca juga ya:
300 Ribu Murid SMK dari Keluarga Rentan akan Dilatih AI oleh Plan Indonesia dan Microsoft
Berbeda dengan penetapan anak Jokowi menjadi cawapres yang ditentang banyak orang, penetapan Pangeran Adipati Anom tidak ada yang menentangnya. “Orang Mataram takut semua,” tulis Babad Tanah Jawi.
Pangeran Adipati Anom dikenal sangat sakti. Ia dieknal bisa berjalan dia tas permukaan air laut. Ia bisa berjeliling negeri dalam waktu yang cepat.
Namun setelah beberapa waktu Prabu Anyokrowati memimpin Mataram, Adipati Demak melakukan pembangkangan. Adipati Demak adalah Pangeran Puger, putra kedua Panembahan Senopati.
Pangeran Joyorogo, putra ke-9 Panembahan Senopati yang diberi negeri Ponorogo, di kemudian hari juga melakukan pemberontakan. Joyorogo tidak menuruti nasihat Mangkubumi dan Raden Ronggo, putra pertama Panembahan Senopati, agar setia kepada raja.
Untuk menghentikan perlawanan Demak, dari Mataram dikirim tentara ke Demak. Adipati Demak yang melawan dikerubungi prajurit Mataram.
Adipati Demak yang merupakan putra kedua Panembahan Senopati itu dijaring dan ditombak hingga tak berkutik. Anyokrowati mengangkat adipati baru untuk Demak.
Raden Ronggo pun melaporkannya kepada Anyokrowati, meminta agar Joyorogo dan istri diusir dari Mataram. Anyokrowati mengirim Joyorogo dan istri –tanpa pengiring— Masjid Watu, lalu dipindah lagi ke Nusa Barambang yang ada di sebelah barat daya Mataram (Nusa Kambangan?).
Oohya! Baca juga ya:
Sultan Agung tidak Sibuk Kampanye Cari Dukungan untuk Calon Penerus, Ia Sibuk Perang, Perang, Perang
Ketika Sultan Agung naik tahta, ia pun mengeluarkan sabda. Ia meminta semua orang Mataram untuk selalu mengingat pesan Prabu Anyokrowati.
“Siapa yang berniat jahat akan mengalami bencana,” kata Sultan Agung yang menyebut kasus Pangeran Puger dan Pangeran Joyorogo sebagai bukti.
Orang-orang Mataram pun mau mendengarkan sabda Sultan Agung. Mereka menyatakan akan mematuhi pesan Prabu Anyokowati.
Kini, banyak orang yang menginginkan petisi para guru besar dari berbagai perguruan tinggi didengar oleh Presiden. Para mahasiswa pun sudah turun ke jalan mendesak dijunjungnya etika bernegara.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Jilid II, penerjemah Amir Rokhyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]