Sultan Agung tidak Sibuk Kampanye Cari Dukungan untuk Calon Penerus, Ia Sibuk Perang, Perang, Perang
Sewaktu Sultan Agung naik tahta pada 1613, tentu tidak ada batasan masa berkuasa. Oleh karena itu ia tidak pernah sibuk memunculkan wacana memperpanjang masa jabatan atau sibuk mengampanyekan anaknya jadi calon penerus kekuasannya.
Sultan Agung sibuk perang, perang, perang. Baik perang untuk menaklukkan negeri lain dan perang melawan Kompeni ataupun perang menumpas pemberontakan.
Sultan Agung pun marah ketika anaknya, Raden Mas Sayidin yang menjadi putra mahkota, menculik istri Tumenggung Wiroguno lalu menikahinya secara diam-diam. Sultan Agung menghukum orang-orang dekat putra mahkota itu.
Oohya! Baca juga ya:
Hal ini membuat orang-orang dekat Raden Mas Sayidin tidak puas atas putusan Sultan Agung. Mereka kemudian mengirim guna-guna kepada Sultan Agung.
Mereka juga memperluas pengaruh untuk melakukan pemberontakan di wilayah pesisir.Tapi, terlalu mudah bagi Sultan Agung untuk memadamkan rencana pemberontakan orang-orang dekat putra mahkota itu.
Kapal-kapal mereka pun kemudian dibakar pada Juli 1638. Ada 800 kapal yangd ibakar, sehingga mereka tidak bisa melarikan diri.
Sebelas tahun sebelumnya, yaitu pada 1627, Sultan Agung juga harus menumpas pemborakan penguasa Pati. Habis itu, harus menumpas pemberontakan penguasa Sumedang dan penguasa Ukur.
Penguasa Sumdang dan penguasa Ukur ini pada 1628 diminta untuk membantu penyerbuan Kompeni di Batavia. Rupanya mereka tidak teguh hati, memilih mundur dari peperangan karena alasan tertentu, lalu melarikan diri ke Banten.
Oohya! Baca juga ya:
Digunjing karena Pinjol, Ternyata ITB Miliki Alumni Presiden dan Musuh Soeharto serta Anggota PMB
Untuk menumpas pemberontakan di Pati, Sultan Agung bahkan turun tangan, berangkat ke Pati pada Okober 1627. “Yang menghasilkan kemenangan bagi Raja Mataram dan seluruh Pati dikuasai olehnya,” tulis Dr HJ de Graaf mengutip sumber Belanda.
Penumpasan pemberontakan penguasa Pati ini menelan banyak korban. Menurut catatan Belanda, orang-orang Pati yang dikepung ada 150 ribu yang meninggal. Sedangkan dari pihak Sultan Agung ada 200 ribu orang yang meninggal.
Pati menjadi kota yang luluh lantak. Tembok-tembok kota Pati dihancurkan. Keluarga penguasa Pati juga dilenyapkan.
Penumpasan pemberontakan penguasa Sumedang dan penguasa Ukur dilakukan setelah usai penyerbuan yang gagal terhadap Kompeni di Batavia. Di Mataram pun, Sultan Agung juga harus menghadapi rencana pemberontakan kaum mistik Jawa dari Pajang.
Kaum mistik Jawa itu menyamar menjadi pengemis, keliling dari satu desa ke desa lain. Mereka mencari pengikut dengan cara memprovokasi penduduk 26 desa di sekitar keraton itu.
Ketika akan meninggal, Sultan Agung mengkhawatirkan masa depan Mataram. Ia sudah tahu masa tugasnya di dunia akan segera selesai karena dua tahun sebelumnya ia mendapat bisikan penguasa alam gaib laut selatan, dari Nyi Roro Kidul bahwa dua tahun lagi akan meninggal.
Oohya! Baca juga ya:
Saat itu Sultan Agung sakit dan tidak bersedia meminum obat-obatan. Pada saat itu memang ada wabah penyakit di Mataram, sehingga Sultan Agung diduga juga terkena sakit yang mewabah itu.
Sultan Agung membahas calon penerusnya di lingkungan kecil keluarga dan pejabat keraton. Jadi, ia tidak perlu kampanye ekeliling negeri.
Ia meminta Tumenggung Wiroguno --yang kelak menjadi patih Mataram—untuk mendukung Raden Mas Sayidin menjadi raja Mataram. Wiroguno pernah menyimpan sakit hati kepada Raden Mas Sayidin yang pada 1637 telah menculik istrinya lalu menikahinya secara diam-diam.
Sultan Agung khawatir, akan ada perebutan kekuasaan antara Raden Mas Sayidin dan Pangeran Alit sepeninggalnya. Raden Mas Sayidin kemudian menjadi raja Mataram dengan nama Susuhunan Amangkurat I, dan diramalkan oleh Sultan Agung akan berdamai dengan Kompeni.
Oohya! Baca juga ya:
Kekhawatiran Sultan Agung terbukti. Babad Tanah Jawi mencatat, Pangeran Alit melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat I.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
- Babad Tanah Jawi Jilid II, penerjemah Amir Rokhyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com