Sultan Agung Uji Ketangkasan Prajurit Mataram dengan Harimau pada Sabtu Sore, Apa Hadiah untuk Mereka?
Di luar tentara milisi, jumlah tentara Mataram hanya puluhan ribu. Yang paling banyak adalah infanteri yang bersenjatakan tombak, keris, dan perisai.
Tiap Sabtu sore, Sultan Agung mengumpulkan mereka di alun-alun. Ini hukumnya wajib, oleh karena itu Sultan Agung akan memberikan hukuman bagi prajurit yang tidak hadir.
Tapi mengapa mereka harus menghadapi harimau yang dilepas? Apa hadiah yang diberikan kepada prajurit yang berani melawan harimau?
Oohya! Baca juga ya:
Uji ketangkasan itu dilakukan pada saat tidak ada penaklukan negeri lain. Jika harus melakukan penaklukan, Sultan Agung mengumpulkan tentara milisi.
Jumlah milisi itu bisa mencapai 200 ribu – 300 ribu orang. Terdiri dari penduduk laki-laki dari berbagai desa.
Sejak naik tahta pada 1613 menggantikan ayahandanya, Prabu Anyokrowati, Sultan Agung rajin melakukan penaklukan. Sultan Agung mulai penyerbuan ke wilayah timur pada 1614, tetapi mendapatkan serangan balsan dari para penguasa di wilayah Jawa Timur.
Maka, Sultan Agung berfokus melakukan penaklukan-penakulan di wilayah Jawa Tengah. Pada 1615 menaklukkan Wirasaba, pada 1616 menaklukkan Lasem, pada 1617 menaklukkan Pajang.
Pada 1617, Sultan Agung kembali ke wilayah timur, berhasil menaklukkan Pasuruan. Pada 1619 menalukkan Tuban.
Oohya! Baca juga ya:
Digunjing karena Pinjol, Ternyata ITB Miliki Alumni Presiden dan Musuh Soeharto serta Anggota PMB
Pada 1620 melakukan penyerbuan ke Surabaya, tetapi tidak berhasil menaklukkannya. Pada 1621 penyerbuan ke Surabaya dilakukan lagi, lalu dulang lagi pada 1622, gagal, diulang lagi pada 1623, juga gagal.
Pada 1624 Sultan Agung juga gagal menaklukkan Surabaya, lalu beralih ke Madura dan berhasil menaklukkan Madura. Baru pada 1625, Sultan Agung berhasil menaklukkan Surabaya.
Untuk misi penaklukan-penaklukan ini, penduduk laki-laki di Mataram diwajibkan ikut berperang. Sultan Agung hanya meninggalkan 2-3 laki-laki di masing-masing desa untuk menjaga desa.
Penaklukan dilakukan setelah selesai masa panen padi. Mereka harus sudah pulang ketika musim tanam padi tiba lagi.
Dengan cara ini, produksi padi tidak terganggu. Tetapi ternyata tak bisa pula dihindari, yaitu banyak sawah padi yang rusak akibat pertempuran menalukkan negeri-negeri lain itu.
Sehari-hari, jika tidak ada penaklukan negeri lain, tentara Mataram bertugas menjaga keraton. Ada pula tentara yang ditugasi menjaga pos-pos jalan tol (pabean).
Oohya! Baca juga ya:
Pasukan pengawal raja ya bertugas mengawal raja. Jika tidak perang, Sultan Agung biasa berkeliling keluar istana, dikawal oleh 40-50 prajurit perempuan.
Prajurit perempuan ini pula yang mengawal Sultan Agung saat berburu banteng. Sultan Agung biasa mengadu banteng dan harimau di alun-alun.
Untuk mendapatkan harimau, Sultan Agung memerintahkan prajurit untuk melakukan perburuan di hutan. Prajurit-prajurit itu pula, kadang diadu dengan harimau di alun-alun.
Para prajurit duduk melingkar, lalu harimau dilepas. Mereka hanya bersenjatakan tombak, dengan tombak itu mereka harus menghadapi harimau yang menyerang mereka.
Oohya! Baca juga ya:
Prajurit-prajurit yang berani menghadapi harimau ini akan diberi hadiah. Macam-macam hadiahnya, ada jabatan, perempuan untuk dijadikan istri, keris, atau pakaian.
Menghadapi harimau dengan tombak ini merupakan bagian dari adu ketangkasan. Itulah sebabnya, Sultan Agung selalu mengumpulkan prajurit di alun-alun pada Sabtu sore.
Uji ketangkasan tentu saj atidak hanya dengan harimau. Mereka bisa uji ketangkasn dengn cara bertanding menggunakan tombak dengan sesama prajurit.
Prajurit yang tidak hadir akan kena hukuman, seperti diambil tanda kebesaran keprajuritannya. Sultan Agung sangat cermat memperhatikan prajuritnya, sehingga ia bisa mengetahui prajaurit-prajurit yang tidak hadir.
Catatan Belanda menggambarkan Sultan Agung sebagai sosok yang keras, tidka bisa diremehkan. Itu gambaran yang dibuat orang Belanda pada 1614, setehaun setelah menjadi raja.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com