Sultan Agung Bisa Kumpulkan 200 Ribu Milisi Siap Perang dalam Waktu Setengah Hari, Apa yang Dilakukan Penguasa Tanah Jawa Itu?
Kekuatan Sultan Agung ada pada tentara Mataram. Dengan tentaranya itu, Sultan Agung menaklkkan negeri-negeri tetangga, sehingga ia bisa menjadi penguasa Tanah Jawa.
Tentara itu terdiri dari satuan pengawal pribadi, satuan penjaga pintu tol (pabean), dan milisi. Tentara milisi tidak digaji, terdiri dari penduduk Mataram yang harus menggarap sawah pada musimnya.
Meski mereka tersebar di berbagai desa, tapi Sultan Agung bisa mengumpulkan mereka dalam waktu yang cepat. Dalam waktu setengah hari Sultan Agung bisa mengumpulkan 200 ribu milisi siap perang, membawa senjata.
Oohya! Baca juga ya:
Bagaimana Sultan Agung bisa dengan cepat mengumpulkan sebegitu banyak milisi di alun-alun? Ketika Mataram harus menaklukkan negeri lain, 200 ribu – 300 ribu orang dapat dikerahkan untuk bertempur.
Jumlah prajurit Mataram sebenarnya hanya puluhan ribu. Terbesar adalah infanteri, yaitu tentara berkuda.
Senjata prajurit infanteri adalah tombak dan keris. Tentu saja mereka juga menggunakan perisai.
Pasukan artileri hanya dikerahkan ketika mereka harus menghancurkan benteng. Ketika melakukan penyerbuan tak perlu menghancurkan benteng, maka pasukan artuleri tidak dikerahkan.
Mereka juga menggunakan meriam. Orang-orang Portugis membantu Mataram dalam pembuatan meriam.
Oohya! Baca juga ya:
Digunjing karena Pinjol, Ternyata ITB Miliki Alumni Presiden dan Musuh Soeharto serta Anggota PMB
Saat menggempur Batavia, meriam juga digunakan. Tak hanya meriam buatan Mataram, melainkan juga meriam hadiah dari Kompeni.
Tapi, jumlah meriam yang digunakan untuk menyerbu Batavia tidak sebanyak yangdigunakan untuk menyerbu Surabaya. Sultan Agung harus mengerahkan 30 meriam dalam penyerbuannya ke Surabaya.
Surabaya menjadi negeri yang sudah ditaklukkan oleh Mataram. Bahkan Sultan Agung sempat meminta bantuan kepada Kompeni untuk dapat menaklukkan Surabaya, tetapi Kompeni tidak merespons permintaan ini.
Itulah sebabnya, Sultan Agung lalu menyerbu Batavia. Sultan Agung menganggap kehadiran Kompeni di Jawa tidak ada manfaatnya bagi Mataram, karenaya harus diusir.
Jika tidak ada perang, Sultan Agung mengumpulan tentara di alun-alun setiap Sabtu sore. Mereka datang berkuda dan membawa tombak.
Untuk apa? Sultan Agung mengadakan adu ketangkasan yang wajib diikuti oleh prajurit Mataram. Prajurit yang tidak hadir akan mendapat hukuman.
Oohya! Baca juga ya:
Sultan Agung juga memiliki prajurit perempuan yang menjadi pengawal. Ada 40-50 prajurit perempuan yang mengiringi perjalanan Sultan Agung keluar istana.
Jika musim penaklukan tiba, maka yang datang di alun-alun adalah penduduk laki-laki. Masa penaklukan dilakukan dengan mempertimbangkan musim mengolah sawah.
Pada saat musim mengolah sawah, Sultan Agung tidak akan melakukan penaklukan.Maka, penaklukan dipertimbangkan dapat berlangsung cepat.
Pada saat muasim tanam tiba, para milisi itu harus sudah di Mataram lagi. Merka harus mengolah sawah lagi.
Untuk mengumpulkan penduduk laki-laki yang siap perang, dipukullah gong. Pemukulan gong dilakukan di berbagai sudut ibu kota Mataram dan di desa-desa di sekitar keraton.
Gong ini kemudian diganti dengan meriam. Hal itu dilakukan setelah Sultan Agung mendapat hadiah meriam dari Kompeni.
Oohya! Baca juga ya:
Untuk desa-desa yang jauh, yang tidak mungkin mendengar letusan meriam, Sultan Agung akan mengirim petugas istana untuk memaksa penduduk laki-laki pergi ke alun-alun. Penduduk yang menolak datang akan mendapat hukuman.
Hukumannya macam-macam. Bisa berupa denda, pukulan, ataupun penyitaan terhadap keris yang mereka punyai.
Penduduk juga harus mengerahkan hewan yang mereka punyai untuk dipakai mengangkut kebutuhan logistik yang diperlukan selama perang. Untuk menjaga desa, hanya dibolehkan ada 2-3 laki-laki yang tinggal di setiap desa.
Begitulah cara Sultan Agung bisa menjadi penguasa Tanah Jawa.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com