Husni Thamrin Meninggal, Tabrani Dituduh Sebagai Pembunuh Thamrin, Apa Kata Eks Pemimpin Redaksi Koran Pemandangan Itu?
Istri Moh Husni Thamrin menyampaikan rasa terima kepada para pelayat yang memberikan penghormatan kepada almarhum Thamrin. Husni Thamrin meninggal pada 11 Januari 1941 dini hari.
Di antara para pelayat yang datang di rumah Husni Thamrin, hadir pula Muh Tabrani, sahabat Husni Thamrin yang dituduh oleh gosip sebagai pembunuh Thamrin. "Kemarahan umum kepada Tabrani bukan main bengisnya,’’ tulis PF Dahler dalam kesaksiannya yang ia tanda tangani pada 1 Oktober 1942 --yang disimpan di Arsip Nasional Belanda.
Thamrin meninggal dalam statusnya sebagai tahanan rumah sejak 7 Januari 1941 dini hari. Polisi Belanda menangkap Thamrin setelah menggeledah rumahnya di Jalan Sawah Besar 32 pada 6 Januari 1941 malam. Siangnya, polisi menggeledah kantor redaksi Pemandangan dan menemukan klise surat Thamrin untuk Tabrani.
Oohya! Baca juga ya:
Di rumah Thamrin, polisi menemukan catatan Douwes Dekker untuk kantor dagang Jepang di Jakarta. Oleh karena itu, polisi juga menggeledah dan menangkap Douwes Dekker yang bekerja untuk kantor dagang Jepang atas rekomendasi Thamrin.
Klise surat Thamrin itu berkaitan dengan pindahknya Ratu Belanda ke London setelah Jerman menyerang Belanda. Di hari Thamrin meninggal, Tabrani menyatakan penyesalannya atas kasus klise surat Thamrin yang membuat rumah Thamrin digeledah lalu Thamrin dijadikan tahanan rumah.
Saat melayat, ia menceritakan kasus klise itu kepada Soekardjo Wirjopranoto, Oto Iskandar Dinata. Ketika berkunjung ke rumah Abikoesno Tjokrosoejono di Kwitang, ia juga menceritakan kepada Abikoesno.
Surat Thamrin untuk Tabrani itu dikirim pada 17 Mei 1940, saat Tabrani masih menjadi pemimpin redaksi Pemandangan. Pada Oktober 1940, Tabrani mengundurkan diri dari Pemandangan karena diangkat menjadi kepala Urusan Pers Pribumi di Regeerings-Publicitets Dienst.
Pada 17 Mei 1940 itu juga, Ki Hajar Dewantoro juga menulis surat kepada Gubernur Belanda di Yogyakarta. ‘’Rahwana Jerman dengan brutal memperkosa Holland yang tidak berdosa,’’ tulis Ki Hadjar Dewantara di suratnya seperti dikutip oleh Bob Hering.
Oohya! Baca juga ya:
Di suratnya itu, Ki Hadjar Dewantara menawarkan kerja sama bagi kepentingan Indonesia-Belanda. Poin-poin tawaran kerja sama ini oleh Ki Hadjar Dewantara sebelumnya telah diberikan kepada Thamrin.
Kepada Thamrin, Ki Hadjar Dewantara juga meminta agar Thamrin tidak memanfaatkan situasi sulit yang sedang dialami Belanda. Thamrin kemudian memutuskan menunda kongres Parindra di Banjarmasin. Thamrin juga mendorong Surya Wirawan, gerakan pemuda Parindra, menggalang dana untuk disumbangkan kepada Belanda.
Tetapi, kepada Tabrani, Thamrin meminta agar Tabrani mengkritik kepindahan Ratu Belanda ke London. Sebelum Thamrin berkirim surat, terlebih dulu menerima Tabrani di rumahnya.
Matu Mona menulis, “Belum lama ia duduk dikursi hoofdredacteurschap-nja tibalah katjung mengantarkan surat dari Thamrin sendiri, kandungan surat itu ialah pendjelasan tentang pembitjaraan mereka berdua tadi dengan mulut. Sekarang inti-pati pertjakapan itu ditulis oleh Thamrin hitam diatas putih.”
Jadi, menurut Mona, surat Thamrin tiba di redaksi Pemandangan setelah pagi harinya, Thamrin bertemu dengan Tabrani. Pada saat polisi menggeledah kantor Pemandangan, surat Thamrin yang tergeletak di meja saat itu tidak diambil oleh polisi. Padahl berkas-berkas lain diambil oleh polisi.
Matu Mona menduga surat Thamrin tak diambil karena polisi menaruh hormat kepada Thamrin yang saat itu merupakan wakil ketua Volksraad. Cerita Matu Mona ini berbeda dengan cerita Bob Hering.
Oohya! Baca juga ya:
Versi yang ditulis Hering, Tabrani bertemu Thamrin setelah Tabrani menerima surat dari Thamrin. Hering mengaku mendapat naskah tidak diterbitkan dari Prof Goto Kenichi. Profesor Jepang ini menulis “Perdebatan Moh Husni Thamrin dengan M Tabrani”.
Dari tulisan itu, Hering mengetahui isi surat Thamrin untuk Tabrani yang mengkritik tajam pemindahan pemerintah Belanda ke London. Thamrin menilai kepindahan pemerintah ke London itu bertentangan dengan Konstitusi Kerajaan Belanda.
Menurut Bob Hering, setelah menerima surat itu, Tabrani-Thamrin bertemu. “Hal ini terbukti merupakan kesalahan politik yang besar karena dalam bulan Januari 1941 polisi melakukan pengawasan sangat ketat terhadapnya serta sejumlah teman politiknya,” tulis Hering.
Pengawasan itu dilakukan setelah diketahui bahwa Thamrin dianggap tidak setia lagi.
Namun, cerita versi Hering ini kurang masuk akal, karena Pemandangan sudah ada kepastian dibredel setelah penggeledahan 17 Mei 1940 itu. Pada 17 Mei sore Pemandangan sudah tidak terbit.
Oohya! Baca juga ya:
Pemandangan terbit sore hari di atas pukul 16.30. Untuk apa Tabrani bertemu Thamrin jika korannya sudah pasti tak akan terbit?
Apalagi Hering menyebut pertemuan Tabrani-Thamrin yang disebut “kesalahan politik yang besar itu” disebut terjadi pada Januari 1941, pada saat pengawasan kepada Thamrin sudah demikian ketat. Sementara, kejadian pengiriman surat Thamrin kepada Tabrani itu pada 17 Mei 1940.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- Mohammad Hoesni Thamrin karya Bob Hering (2003)
- Riwajat Penghidupan dan Perdjuangan Muhd. Husni Thamrin karya Matu Mona (1941)
- Pedoman Masjarakat, edisi 12 Februari 1941
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]