Buku Berbagi Senyum, Berbagi Nilai yang Sudah Pudar

Terakhir saya baca naskah buku Berbagi Senyum, Kisah-kisah yang Menguatkan dari Halaman Belakang Rumah Andi Sahrandi ini pada 31 Agustus 2025 untuk kepentingan koreksi sebelum masuk ke percetakan. Ada cukup banyak koreksi minor setelah sembilan kali koreksi mayor.
Lalu saya menjaga jarak, hingga akhirnya pada Jumat, 8 Oktober 2025 , membelinya di toko buku untuk dibaca. Erros Djarot menyebut nilai-nilai di buku ini layak disebarkan, pada saat nilai-nilai itu sudah pudar di hati elit negeri ini, pada saat banyak yang menggandrungi buku-buku kesehatan mental akhir-akhir ini.
Pada saat peluncuran, 25 September 2025, Lukas Luwarso menyebut buku ini enak dibaca dan tidak klise. Karena, kata Lukas, tidak memulai cerita dari kisah masa kanak.
"Buku ini dibuka dengan menolak kematian," kata Lukas.
Tokoh utama buku ini, Andi Sahrandi, dua kali terkena serangan jantung saat belum menuntasksn aksi kemanusiaan. Akibatnya, pada saat dua kali kritis itu dua kali pula ia berdoa agar tidak dipanggil terlebih dulu karena ada tugas yang belum selesai.
Sebenarnya ada tiga. Yang ketiga saat jatuh tersungkur ketika rukuk di rakaat ketujuh Tarawih pada Ramadhan 2024.
Saat itu ia berdoa jangan dipanggil dulu karena ingin menyaksikan akhir pemerintahan Jokowi. Namun, setelah ditangani dokter, diketahui bahwa penyebab jatuh bukan karena serangan jantung, melainkan karena kurang gizi.
Menurut Erros Djarot yang membahas buku ini di acara peluncuran di IIBF, kisah-kisah Andi mengandung nilai-nilai yang perlu disebarkan kepada elite politik negeri ini. Yaitu Empati.
Demonstrasi dan kerusuhan akhir Agustus 2025, boleh dibilang, muncul karena elite tidak punya empati pada penderitaan rakyat. Akibatnya, rakyat menjadi marah akibat ulah mereka.
Banyak nilai di buku ini, yang dapat menyalakan harapan dan menguatkan mental ketika Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Tepat rasanya, karena menurut Ketua Ikapi Arys Hilman, buku-buku kesehatan mental dan pengembangan diri sedang digemari saat ini.
Nilai-nilai, misalnya, soal perlunya disiplin waktu, ada kisahnya di buku ini. Bagaimana pula, misalnya, Andi mendorong warga terdampak bencana untuk bangkit lewat gotong royong, seperti yang dicontohkan oleh warga Banjarnegara.
Andi mengalami sendiri, bantuan uang yang ia tawarkan ditolak di Banjarnegara. Mereka mengandalkan keguyuban dalam gotong royong.
Dalam kisah di buku Berbagi Senyum, Andi kemudian membeli berbagai peralatan kerja untuk diberikan kepada mereka. Mereka pun kemudian bergotong royong mengeruk tanah untuk menyelamatkan barang-barang yang tertimbun
Mereka tak perlu menunggu instruksi pemerintah dengan upah Rp 50 ribu per hari, seperti biasa yang sering dilakukan oleh pemerintah. Hal yang justru merusak gotong royong, yang ditemukan Andi di Sumatra Barat.
