Sultan Agung Rajin Shalat Jumat di Masjid, Mengapa Amangkurat I Hanya Mengirim Utusan untuk Shalat Jumat?
Sultan Agung dicatat rajin shalat di masjid. Para pejabat keraton pun wajib mengikutinya.
Ini berbeda dengan Amangkurat I yang menjadi penerusnya. Anak Sultan Agung ini hanya mengirim utusan untuk ikut shalat Jumat di masjid. Mengapa?
Catatan Belanda ada yang menyebut, Sultan Agung baru bersungguh-sungguh menjalankan ajaran Islam pada 1633. Padahal sebelum tahun itu, Sultan Agung juga sudah rajin shalat Jumat di masjid.
Oohya! Baca juga ya:
Sultan Agung tidak Sibuk Kampanye Cari Dukungan untuk Calon Penerus, Ia Sibuk Perang, Perang, Perang
Catatan Belanda itu memakai alasan karena pada 1633 itu, Sultan Agung membuat kalender Islam. Catatan-catatan Jawa menyebut Sultan Agung sudah menjalankan ajaran Islam sejak ia belum menjadi raja.
Ada catatan Belanda tahun 1622 yang dibuat oleh utusan Kompeni Hendrick de Haen. Ia menyebut Sultan Agung sudah pergi ke masjid setiap hari Jumat.
De Haen juga menyebut, para pejabat keraton juga ikut ke masjid setiap hari Jumat. Artinya, Sultan Agung sudah sungguh-sungguh menjalankan Islam jauh sebelum 1633.
Pada mulanya, Sultan Agung memerintah dari keraton peninggalan ayahnya di Kotagede. Pada 1617 ia membangun keraton di Karto, tentu saja dilengkapi dengan membangun masjid.
Sultan Agung menetap di keraton Karto sejak 1621, setelah banguna istana raja yang dibangun sejak 1620 siap ditempati. Tetapi, sebelum 1621 Sultan Agung sepertinya sudah meninggali keraton, meski belum menetap.
Oohya! Baca juga ya:
Digunjing karena Pinjol, Ternyata ITB Miliki Alumni Presiden dan Musuh Soeharto serta Anggota PMB
Disebutkan, saat Sultan Agung mulai meninggali keraton Karto, permaisuri masih tinggal di Kotagede. Ia baru ikut pindah ke Karto pada 1621, setelah istana raja selesai dibangun.
Secara keseluruhan, pada 1621 itu pembangunan keraton belum selesai semua. Istana putra mahkota, Raden Mas Sayidin alias Pangeran Aryo Mataram, baru selesai dibangun pada 1626.
Namun, rupanya, masjid sudah dibangun terlebih dulu, mendahului yang lain. Masjid itu dikelilingi parit dangkal. Parit-parit demikian juga bisa ditemukan di banyak masjid di Jawa dan Sumatra.
Rupanya, parit itu berfungsi sebagai tempat berwudhu orang-orang yang akan masuk ke masjid. Cucu Sultan Agung, Amangkurat II, merenovasi masjid di keraton Karto dengan meniru arsitektur Masjid Demak.
Serambi masjid masih terpisah dari bangunan utama masjid. Serambi yang terpisah ini dibangun di depan masjid dengan dua baris tiang yang tinggi, dijadikan sebagai tempat rapat-rapat.
Acara gerebek puasa yang selalu dihadiri Sultan Agung kemungkinan besar diadakan di serambi yang terpisah itu. Pada 1622, catatan Belanda menyebut Sultan Agung selalu menghadiri acara gerebek puasa di masjid.
Oohya! Baca juga ya:
“Pada acara persembahan penganan (gunungan-gunungan) di lapangan masjid, raja atau patih bersama pejabat istana biasanya menganbil tempat di serambi dan dari tempat itu mengikuti doa penghulu yang berada di dalam masjid,” tulis Dr Hj de Graaf.
Kapan serambi masjid bersatu dengan bangunan utama masjid? Penyatuan serambi masjid dengan bangunan utama masjid di keraton Karto baru dilakukan dua abad kemudian, yaitu pada 1845.
Pada 1630, Sultan Agung memerintahkan pada prajurit mencukur pendek. Para prajurit itu kemudian dikenali dengan kuluk putih yang mereka pakai.
Ketika Amangkurat I memindahkan keraton ke Plered, ia juga membangun masjid. Tetapi catatan Belanda menyebut Amangkurat I selalu mewakilkan orang untuk menghadiri Shalat Jumat di masjid.
Oohya! Baca juga ya:
Itulah sebabnya, orang-orang Belanda mengupas kebiasaan Sultan Agung pergi ke masjid. “Ini lebih menarik perhatian karena penggantinya hanya mengirim pejabat istana ke masjid untuk sembahyang Jumat, tetapi ia sendiri tetap tinggal di rumah,” tulis De Graaf.
De Graaf tidak menyebutkan alasan Amangkurat I malas pergi ke masjid. Tapi sejarah mencatat, Amangkurat I membunuh sekitar 7.000 santri dan kiai di Mataram.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com