Pitan

Sultan Agung Mataram Dikerjai Penghulu, Mengapa Acara Kenduri Bubar Setelah Doa Penghulu Disahut Amin Tiga Kali?

Kenduri Ageng digelar di Kepatihan Keraton Yogyakarta pada 2010. Di Mataram dulu, Sultan Agung pernah menggelar kenduri, tetapi bubar setelah doa Penghulu Keraton diaminkan tiga kali.

Ambengan (nasi hidangan untuk kenduri) sudah tersaji dengan segala lauk-pauknya. Patih, para sentana, para adipati, para bupati, sudah hadir. Namun, kenduri belum juga bisa dimulai karena penghulu belum datang.

Sultan Agung pun segera meminta abdi dalem untuk menjemput Penghulu Keraton. Ketika Penghulu Keraton memimpin doa, kenduri malah bubar setelah mendapat sahutan amin yang ketiga kalinya. 

Sebelum penghulu datang, beberapa abdi dalem berangkat ke rumah penghulu memenuhi perintah Sultan Agung untuk menjemputnya. Tiba di rumah penghulu, keadaan sangat sepi.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Permaisuri Meninggal, Amangkurat I Mengurung 43 Selir dan 350 Dayang tanpa Diberi Makan dan Minum Hingga Meninggal

Pendopo rumah kosong, tak ada orang. Hal itu membuat mereka langsung menuju ke rumah utama di belakang pendopo.

Namun, mereka mendapati pintu yang terkunci rapat. Memberi salam tak ada jawaban, mencoba membuka pintu tak ada yang berhasil.

Melihat ke sekeliling, mereka juga tidak menemukan sesuatu. Hewan piaraan yang biasanya ada di kandang, juga tidak ada.

Tiba-tiba ada suara dari dalam rumah utama. Pintu utama terbuka, disusul pintu samping dan belakang juga terbuka.

Tetapi, merekajuga tidak menemukan siapa-siapa, selain rodayang terus berputar. Rumah yang biasanya ada perabot, kali ini pun kosong.

Para abdi dalem itu tentu saja heran. Kemudian memutuskan untuk segera pulang, melapor kepada Sultan Agung.

Ketika mereka melaporkan bahwa tidak bisa menemukan penghulu, Sultan Agung menyatakan jika penghulu sudah hadir di acara kenduri. Para abdi dalem semakin heran.

Oohya! Baca juga ya: Pengalaman Seru Santri Jadi Peserta Kemah Bakti Harmoni Beragama II di Kiarapayung

Sultan Agung segera meminta Penghulu Keraton memulai kenduri. Artinya Penghulu Keraton harus segera membacakan doa.

Namun, penghulu itu menolak berdoa. Ia menyatakan hanya bersedia menghadiri kenduri, tetapi tidak mau berdoa, lalu menyarankan kepada Sultan Agung agar menunjuk khatib yang berdoa.

Megapa Penghulu Keraton menolak memimpin doa? “Duh Gusti, jika saya yang memimpin doa, hidangan hajat Gusti pasti tidak bisa disantap,” kata Penghulu Keraton kepada Sultan Agung.

Sultan Agung menolak saran menunjuk khatib memimpin doa. Sultan Agung hanya menginginkan penghulu yang memimpin doa kenduri hari itu.

Penghulu Keraton melihat Sultan Agung marah. Oleh karena itu, ia pun segera memulai memimpin doa.

Baru mendapat sahutan sekali amin dari yang hadir, terdengar suara berisik dari ambengan. Mendapat dua amin, ambengan bergerak-gerak, dan pada sahutan amin ketiga, suara dari ambengan semakin riuh.

Nasi telah menjadi beras lagi, ingkung menjadi ayam hidup lagi, ikan hidup lagi, besek bambu jadi bambu batangan lagi, membuat yang hadir pada kaget. Sultan Agung pun dibuat kaget karenanya.

Oohya! Baca juga ya: Kisah Ten Dudas, 10 Duda Penyintas Tsunami Aceh Membangun 200 Rumah Darurat Dibantu Posko Jenggala

Tetapi, di dalam hati Sultan Agung memuji kehebatan Penghulu Keraton. Lalu ia meminta yang hadir untuk bubar. Juru masak akan menyiapkan ambengan lagi untuk kenduri ulang di sore hari.

Kenduri akan dilakukan lagi pada jika ambengan sudah siap lagi. Orang-orang pun membicarakan kehebatan Penghulu Keraton, sebagai orang yang layak memegang hukum keraton.

Penghulunya saja memiliki kesaktian luar biasa, maka mereka bangga jika saat itu Sultan Agung sudah ditakuti oleh penguasa negeri-negeri lain. Artinya, yang sakti tentu saja tidak hanya penghulu.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad Pagedongan (1941)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

UMKM Go Global, Sertifikasi, dan Kekuatan Doa