Permaisuri Meninggal, Amangkurat I Mengurung 43 Selir dan 350 Dayang tanpa Diberi Makan dan Minum Hingga Meninggal
Raja Mataram Amangkurat I mengurung 43 selirnya. Kendati mereka tidak bersalah atas kematian permaisuri, mereka harus ditahan di suatu tempat, tidak boleh diberi makan dan minum.
Amangkurat I, memerintah Mataram pada 1646-1677 menggantikan Sultan Agung, sangat sedih ketika permaisuri Ratu Malang meninggal dunia. “Sunan menjadi sedemikian sedihnya sehingga ia mengabaikan segala masalah kerajaan,”’ tulis HJ de Graaf mengutip catatan Valentijn.
Makam Ratu Malang tidak ditutup, sehingga Amangkurat I diam-diam kembali ke makamnya,lalu berbaring di samping jenazah permaisuri itu. “Begitu kasihnya kepada wanita itu, sehingga ia tidak dapat menahan diri, dan membaringkan dirinya di dalam kuburan,” tulis Valentijn.
Oohya! Baca juga ya: Pengalaman Seru Santri Jadi Peserta Kemah Bakti Harmoni Beragama II di Kiarapayung
Kepergian Amangkurat I ke makam permaisuri membuat keraton kacau. Permintaan agar Raja segera pulang tidak diindahkan.
Pada suatu malam, Amangkurat mendapat mimpi. Isi mimpinya: Ratu Malang telah berkumpul kembali dengan suaminya terdahulu, Kiai Dalem.
Begitu bangun, Amangkurat I sudah tidak mendapati jenazah istrinya secara utuh. Hal inilah yang mendorong Amangkurat kemudian pulang ke keraton.
Sebelum dinikahi oleh Amangkurat I, Ratu Malang merupakan istri dari Kiai Dalem. Karena Amangkurat I menginginkan Ratu Malang, ia menyuruh pembantunya agar membunuh Kiai Dalem.
Namun ternyata, Kiai Dalem tidak meninggal karena dibunuh oleh orang suruhan Amangkurat I. Ia meninggal secara wajar.
Kendati telah diperistri oleh Amangkurat, Ratu Malang masih terus memikirkan suaminya. Hal ini membuat Ratu Malang pada akhirnya jatuh sakit.
Sewaktu ratu Malang masih menderita sakit itu, ia sering mengigau memanggil-manggil Kiai Dalem. Pada saat itu, Amangkurat I menduga bahwa penyakit Ratu Malang disebabkan oleh abdi dalem istana.
Oohya! Baca juga ya: Sarung Muhaimin dan Pakaian NTT Ganjar di Acara Debat Cawapres, Apropriasi atau Apresiasi?
Itulah sebabnya, ia memerintahkan agar 43 selirnya dikurung hingga meninggal dunia. Demikian juga terhadap 350 dayang, juga mengalami nasib serupa.
Menurut Valentijn, jka istri atau selirnya yang tercantik meninggal, maka semua dayang mereka atas perintah Raja harus dibunuh. "Banyak di antara meteka juga dikuburkan hidup-hidup bersama yang meninggal itu," tulis De Graaf mengutip Valentijn,
Begitulah bentuk amarah terhadap hamba-hambanya yang menyebabkan permaisuri atau selir tercantiknya meninggal dunia. Mereka dianggap lalai sehingga menyebabkan kematian istrinya.
Valentijn mengetahui cerita soal pembunuhan di keraton ini dari penulis rahasia kerajaan, Tumenggung Surowikromo. Surowikromo menulisnya berdasarkan permintaan dari perwira Kompeni Laksamana Cornelis Speelman.
Pada April 1679, di masa pemerintahan Amangkurat II, Surowikromo diutus ke Batavia. Ia baru pulang ke Mataram pada Juli 1679.
Dari Ratu Malang, Amangkurat I tidak mendapatkan anak meski usia pernikahan mee=reka mencapai 17 tahun. Padahal, ia memperistrinya karena menginginkan anak untuk dijadikan putra mahkota.
Maka, pada 1663, Amangkurat I menanyakan kepada pembantu-pembantunya, mengenai anak-anaknya yang layak dijadikan putra mahkota. Tak ada yang berani menjawabnya.
Oohya! Baca juga ya: Tsunami Aceh, Kontak Senjata TNI-GAM Membuat Anak-Anak Pengungsi di Kamp Pengungsi Posko Jenggala di Lhok Nga Ketakutan
Amangkurat I pun berusaha membunuh anak-anaknya. Amangkurat I menjadi terganggu akal sehatnya sejak ratu Malang sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal dunia.
Kesedihan atas kematian Ratu Malang membuat Amangkurat I juga tidak menyambut utusan Kompeni yang datang dengan sambutan yang selayaknya. Ketika utusan Wagenaer datang di Mataram pada 6 Oktober 1667, Amangkurat I meminta maaf karena tidak memberikan tembakan meriam sebagai tanda hormat.
“Tahun berikutnya pda tanggal 15 September Residen Couper menulis dari Jepara. ‘Di istana segala sesuatu sunyi, tetapi Sunan menyuruh agar dicarikan wanita cantik, mungkin supaya ia mendapatkan lagi wanita seperti permaisuri yangs udah mangkat itu’,” tulis De Graaf.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Runtuhnya Istana Mataram karya Dr HJ de Graaf (1987)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]