UMKM Go Global, Sertifikasi, dan Kekuatan Doa
Roy Wibisono memutuskan keluar kerja lalu pada 2018 membuka usaha keramik. Enam bulan kemudian pandemi Covid-19 melanda, sehingga ia sempat berpikir usahanya akan layu sebelum berkembang.
Tapi kenyataan berbicara lain. Lewat media sosial dan lokapasar ia justru mendapatkan pembeli dari luar negeri. Ia mulai menjadi pelaku UMKM penerap SNI yang go global dengan dukungan sertikasi dan doa.
Ketika cangkir keramik Cina dijual di lokapasar seharga Rp 9.000 banyak yang mengusulkan agar UMKM bisa menjual dengan harga Rp 8.000. Roy Wibisono termasuk yang menentangnya.
Ia memilih membuat karya yang berkualitas tinggi dengan harga premium. “Saya beli tanah liat Rp 3.000 per kilogram, bisa jadi cangkir seharga Rp 500 ribu,” ujar Roy Wibisono pemilik Naruna Keramik, Salatiga, saat berbagi kisah di Peringatan Bulan Mutu Nasional yang diadakan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) di Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Dengan cara itu ia bisa membayar mahal karyawannya. Ia mencari orang yang berkualitas bagus untuk bekerja dengannya sehingga bisa menghasilkan produk yang bagus.
“Produknya harus jos,” kata Roy Wibisono. Jos biasa digunakan oleh orang Jawa untuk mengomentari sesuatu yang luar biasa.
Dari semula hanya bertiga memproduksi, kini ia memiliki 300 karyawan. Bahkan untuk urusan media sosial dan lokapasar ia memiliki 25 orang sebagai kreator konten.
“Saat Covid, penjualan justru naik 22 kali lipat, berarti naik 2.200 persen,” ungkap lulusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro itu.
Dari yang semula hanya mengeskpor eceran, kini Roy Wibisono bisa mengekspor banyak kontainer produk kemariknya. Ada cangkir, mangkok, piring, teko, dan sebagainya.
“Hari ini ada pembeli yang memesan lagi 12 kontainer,” ujar Roy Wibisono, Rabu (20/11/2024). Ia telah mengekspor produknya ke 16 negara.
Ketika banyak pelaku UMKM mengeluh sulit melakukan ekspor karena ada banyak perizinan yang harus diurus, Roy justru menganggapnya sebagai hal yang mudah. Berbagai proses sertifikasi ia jalani dan lulus, termasuk sertifikasi SNI.
Baginya sertifikasi SNI sangat menolong. Sebelum memiliki SNI ia susah mengelola usaha. Karyawan tak selalu bekerja seperti yang dia inginkan meski pad aawalnya berjalan dengan baik.
Dengan adanya SNI, ia memiliki prosedur operasional standar. Kayawannya ia beri pelatihan mengenai hal itu, ada panduannya, sehingga memudahkan karyawan untuk bekerja di bidang masing-masing.
“Dengan SNI, kerja jadi terkontrol,” kata Roy.
Ia berani mengatakan ekspor itu mudah karena sebelum menjadi pelaku UMKM ia adalah general manager di perusahan ekspor. Jadi ia tahu seluk beluk produk dan ekspor yang diingin konsumen di berbagai negara.
Ia paham betul selera konsumen yang berbeda-beda di berbagai negara. “Buyer kecil perizinan simpel, buyer besar sistem perizinan ketat. Dengan cashflow, kami perbaiki perizinan-perizinan,” ujar Roy.
Elsya MS Chani dari Bank Indonesia menggarisbawahi pentingnya produk yang berkualitas bagi UMKM yang menginginkan produknya bisa diekspor. Karena itu, Bank Indonesia harus memilih UMKM tertentu yang akan dibina.
Bank Indonesia memiliki 2.218 UMKM binaan di seluruh Indonesia. “Sebanyak 405 UMKM sudah melakukan ekspor,” ungkap Elsya yang juga berbicara di acara Peringatan Bulan Mutu Nasional yang diadakan oleh BSN.