Pitan

Ada Perempuan-Perempuan Garang nan Perkasa di Sekeliling Diponegoro

Sketsa ini menggambarkan pertempuran tentara Belanda dengan pengikut Diponegoro di Selarong. Diponegoro dikeliling perempuan-perempuan garang dan perkasa selama Perang Jawa berlangsung.

Sejak Hamengkubuwono III bertahta, Diponegoro sering berada di keraton. Sejak kecil Diponegoro tumbuh di luar keraton dan memiliki perempuan-perempuan garang nan perkasa yang membantunya dalam Perang Jawa.

Di Tegalrejo, ia tinggal bersama nenek buyutnya, istri Hamengkubuwono I. Diponegoro mendapatkan pendidikan yang lebih intensif dibandingkan dengan pangeran-pangeran lain di keraton.

Pendidikan di keraton diberikan sambil lalu. “Tanpa pendampingan oleh guru regular yang efektif. Jika ada guru, itu baik, kalau tidak ada guru, bisa kosong sama sekali,” tulis Peter Carey.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

MUI Sulawesi Utara dan Legium Cristum Bersama Polisi Mencegah Kerusuhan Pecah di Manado pada 2002

Sedangkan pendidikkan yang diterima Diponegoro di Tegalrejo berada di bawah kontrol nenek buyutnya, Ratu Ageng. Nenek buyutnya menginginkan Diponegoro mendapat pendidikan yang lebih formal.

“Sesuai arahan nenek buyutnya, pendidikan yang diterima Diponegoro lebih memberi perhatian pada gaya pesantren formal (sekolah agama berasrama), dengan cara mendatangi ulama di Tegalrejo untuk belajar Alquran dan Hadis,” lanjut peter Carey.

Ia mempelajari Kitab Tuhfah. Kitab ini membahas sufisme. Ia juga mempelajari Usul dan Tasawwuf, traktat yang berisi teologi mistik Islam.

Serat Anbiya dan Tafsir Quran pun ia pelajari. Termasuk pula Siratussalatin dan Tajussalatin. Tentang hukum Islam, Diponegoro mempelajari buku Taqrib, Lubab al-Fiqh, Muharrar, dan Taqarrub.

“Kenyataan itulah yang dapat menjelaskan kenapa Diponegoro kemudian sangat kritis terhadap reformasi hukum 1812 yang diberlakukan oleh pemerintah Inggris (1811-1816), yang memangkas kewenangan pengadilan agama Jawa (surambi),” tulis Peter Carey.

Oohya! Baca juga ya:

Raja-Raja Jawa Dulu Dianggap Kompeni Berpenyakit Tuli Hindia Timur, Penyakit Apa Itu?

Di Tegalrejo Diponegoro menikahi putri Kiai Gede Dadapan bernama Retno Madubrongto. Dikaruniai empat anak dari pernikahan ini yang ia didik dengan pendidikan formal pesantren juga.

Kepada adiknya, Sultan Hamengkubuwono IV, Diponegoro sering mengunjunginya di keraton. Ia rajin menceritakan kisah kepahlawanan yang ada di buku Fath al-Muluk. Ia juga merekomendasikan buku-buku yang perlu dibaca oleh adiknya.

“Di antaranya Serat Anbiya, Tajussalatin, Hikayat Makuta Raja, Serat Menak, Babad Kraton, Arjuna Sasrabahu, Rama Badra, dan Serat Bratayuda,” tulis Peter Carey.

Karena pendidikannya inilah ia mengecam Residen Yogyakarta Nahuys yang memberi pengaruh buruk pada kehidupan di keraton. Nahuys, kata Peter Carey, ia sebut sebagai “hanya suka makan dan minum-minum, serta menularkan gaya hidup Belanda”.

Meski tinggal di luar keraton, Diponegoro tetap menjalin hubungan baik dengan orang-orang di keraton yang juga mempelajari Islam secara tekun. Salah satunya adalah Raden Ayu Danukusumo, putri dari kakek buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I.

Raden Ayu Danukusumo menguasasi berbagai literatur Islam-Jawa. Ia juga mahir membaca dan menulis menggunakan huruf pegon, yaitu huruf Arab gundul.

Oohya! Baca juga ya:

Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi Sidang Umum UNESCO, Bahasa Ini Lahir karena Tabrani Tersinggung oleh Belanda

Selama Perang Jawa berlangsung, Diponegoro didampingi oleh istri ketiganya, Raden Ayu Maduretno yang dinikahi pada September1814. Tapi, Raden Ayu Maduretno tidak bisa mendapingi sampai perang usai, karena meninggal pada November 1827.

Ada dua perempuan bangsawan yang juga membantu Diponegoro selama Perang Jawa berlangsung, bahkan menjadi panglima di medan perang. Dia adalah Nyi Ageng Serang yang menjadi panglima perang diwilayah Sragen, Demak, Grobogan.

Nyi Ageng Serang masih memiliki darah keturunan Sunan Kalijaga. Putrinya dinikahkan dengan anak dari Hamengkubuwono II dan memberinya cucu bernama Raden Mas Papak.

Diponegoro memberi tempat khusus kepada Raden Mas Papak. Ia berencana, jika perang usai dengan kemenangan, menunjuk Raden Mas Papak sebagai penggantinya, menjadi pemimpin agama di Jawa.

Oohya! Baca juga ya:

Cegah Penggunaan Jebakan Listrik, Lomba Gropyokan Tikus Digelar di Grobogan dengan Hadiah Seekor Sapi Jantan

Memiliki darah Sunan Kalijaga akan memberikan posisi politik yang lebih kuat bagi Raden Mas Papak ketika menjadi pemimpin agama di Jawa. Tapi, harapannya itu pupus, karena di pertengahan perang, Raden Mas Papak memilih berpihak kepada Belanda.

Di wilayah perang, Nyi Ageng Serang memimpin pasukan beranggotakan 500 orang. Ia termasuk yang ditakuti karena masyhur dengan kesaktiannya.

Selain Nyi Ageng Serang, ada lagi Raden Ayu Yudokusumo. Suaminya pernah menjadi bupati Grobogan sebelum kemudian dipindah ke wilayah mancanegara di Jawa Timur.

Peter Carey menggambarkan Raden Ayu Yudokusumo sebagai “seorang perempuan dengan tingkat kecerdasan tinggi dan kecerdikan yang luar biasa”. Ia, kata PeterCarey, “Menjadi otak serangan atas komunitas Tionghoa di Ngawi pada 17 Septemeber 1825 dari pusat pertahanannya di Muneng, kabupaten suaminya di timur Sungai Madiun.”

Ketika ia ditangkap Belanda pada Oktober 1828, Raden Ayu Yudokusumo mencukur gundul rambutnya. “Sebagai tanda kesetiannya pada perang suci,” tulis Peter Carey.

Ada pula Raden Ayu Mojo, perempuan berdarah Bali yang menjadi istri Kiai Mojo. “Bila kita ingat kejadian-kejadian seputar prang yang baru saja berakhir dan merenungkan barang sejenak bahaya dan kerusakan yang ditimbulkan oleh beberapa istri para pemimpin Jawa terkemuka, dapatlah dibuat daftar perempuan-perempuan [tertentu] yang sangat mampu [...] bertindak kejam,” tulis Frans Gerhardus Valck, residen Yogyakarta periode 1831-1841, seperti dikutip Peter Carey.

Oohya! Baca juga ya:

Ini Lokasi di Puncak Gunung yang Menjadi Tempat Favorit untuk Berfoto Para Pendaki Amatir

Di luar perempuan bangsawan, ada juga perempuan-perempuan biasa yang membantu Diponegoro dalam Perang Jawa. Di Ngawi ada perempuan keturunan Cina yang membentuk pasukan keamanan.

Di desa-desa sekitar Yogyakarta juga ada perempuan-perempuan desa yang membantu menyiapkan bubuk mesiu atau membawa logistik ke medan laga.

Mereka menyamar sebagai laki-laki, mengenakan segaram tempur lai-laki. “Mereka itu para wanita garang nan perkasa, bukan raden ayu yang tersenyum malu-malu seperti dalam cerita fiksi kolonial Belanda,” tulis Peter Carey.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Takdir karya Peter Carey (2014)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com

Berita Terkait

Image

Cucu Diponegoro Jadi Kecu, Teruskan Perlawanan

Image

Senyum Karier Para Pangeran Setelah Diponegoro Ditangkap

Image

Perempuan Perkasa di Medan Perang Jawa di Grobogan